Minggu, 02 Agustus 2020

PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DAN ISU LINGKUNGAN


PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DAN ISU LINGKUNGAN

I.  PENDAHULUAN

Kelapa sawit merupakan tanaman tropis yang memiliki nilai komoditas yang penting, perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Indonesia mulai diusahakan pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara (Naibaho, 1988, dalam Morario).   Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini semakin pesat. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu komoditas utama tanaman perkebunan yang penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa negara (Ambiyah 2012). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yakni perkebunan besar swasta (PBS) sebesar 51,86%, perkebunan rakyat (PR) sebesar 41,42%, dan perkebunan besar negara (PBN) sebesar 6,72%. Luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama 10 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan, yaitu 6,59 juta ha pada tahun 2006 menjadi 11,44 juta ha pada tahun 2015 (Indonesian Palm Oil Statistic, 2007; PASPI 2016).
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Berkembangnya sub sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.
Ekspansi kebun kelapa sawit memberikan dampak ekonomi, lingkungan, dan pengembangan industri CPO. Menurut Susila (2004) kontribusi industri berbasis kelapa sawit mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan perbaikan distribusi pendapatan. Pengembangan kelapa sawit berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh pertumbuhan investasi, output, dan devisa. Industri berbasis kelapa sawit juga mempunyai kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan rumah tangga yang berasal dari usaha kelapa sawit (Susila 2004).
Namun beberapa tahun terakhir ini industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menjadi sorotan negara-negara Uni Eropa dan Amerika karena alasan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Maka diperlukan kajian dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, untuk memastikan sebagai industri yang ramah lingkungan sekaligus bisa meningkatkan produktivitasnya. Identifikasi dan pemetaan seluruh potensi industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yang terbarukan guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Tinjauan yang terintegrasi dari segi lingkungan, teknologi, ekonomi dan sosial budaya harus dilakukan untuk mendapatkan suatu strategi industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berdaya saing tinggi dan berkelanjutan.

II. POTENSI KELAPA SAWIT INDONESIA

Luas Areal perkebunan sawit di Indonesia terus meningkat dengan pesat, demikian pula produksi dan ekspor minyak sawitnya. Luas areal tanaman kelapa sawit meningkat dari 290 ribu Ha pada tahun 1980 menjadi 5.9 juta ha pada tahun 2006 atau meningkat 20 kali lipat. Dalam kurun waktu yang sama, produksinya berupa CPO (minyak kelapa sawit mentah) dan CPKO (minyak inti sawit mentah), meningkat 17 kali lipat dari 0,85 juta ton menjadi 14,4 juta ton (Suprayogo, 2011). Tahun 2012 berdasarkan data statistik Ditjenbun Pertanian, bahwa total luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 9 juta Ha, produksi crude palm oil (CPO) mencapai 26 juta ton per tahun dan pada tahun 2014 luas area telah mencapai 10,7 juta Ha (Tabel 1 dan 2). Indonesia saat ini produsen minyak sawit (CPO) kedua terbesar. Pangsa produksi minyak sawit Indonesia saat ini kurang lebih sebesar 36 persen dari total produksi dunia, sedangkan Malaysia telah mencapai kontribusi sebesar 47 persen. Sehingga secara bersama-sama, Indonesia dan Malaysia praktis menguasai 83 persen produksi dunia.
Pengembangan komoditas ini telah dilakukan pada berbagai lahan di Indonesia, baik tanah mineral maupun tanah gambut. Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Indonesia telah mencapai lebih dari 1,7 juta ha dari total luas lahan gambut Indonesia seluas 14,9 juta ha. (Tropenbos International Indonesia, 2012; Ritung et al., 2011) Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut tersebar utamanya di pulau Sumatera sekitar 1,4 juta ha dan di Kalimantan sekitar 307 ribu ha.

Tabel 1. Luas areal kelapa sawit menurut status pengusahaan tahun 2010-2017**) (Sardjono, 2017)
 

Tabel 2. Produksi minyak sawit menurut status pengusahaan tahun 2010-2017**)  (Sardjono, 2017)
 
 
Prospek pasar minyak sawit diprediksikan masih akan sangat cerah, antara lain karena masih tingginya permintaan dunia. Konsumsi dunia rata-rata tumbuh 8 persen per tahun, bahkan beberapa tahun terakhir, jauh di atas kemampuan produksi sehingga harga dipastikan akan terus meningkat. Berbeda dengan Malaysia, peluang Indonesia untuk menggenjot produksi masih sangat besar, terutama dengan ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, ketersediaan tenaga kerja relatif murah yang melimpah, serta biaya pembangunan dan perawatan per hektar yang juga lebih murah.
Pada awalnya, pelaku usaha kelapa sawit terbatas pada perusahaan asing berskala besar dan terintegrasi antara budidaya, pengolahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), dan pemasaran hasilnya. Hal ini berlangsung hingga periode awal Republik. Sekitar 1958, beberapa perusahaan Belanda dinasionalisasikan dan diambil alih sebagai Perusahaan Perkebunan Negara. Rakyat menjadi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit baru sekitar tahun 1980 dalam rangka program akselerasi pembangunan perkebunan. Perkembangan kelapa sawit rakyat ini dapat dikatakan fenomenal. Berawal pada tahun 1980, dalam sepuluh tahun pertama mencapai sekitar 300 ribu Ha, sepuluh tahun berikutnya mencapai sejuta hektar lebih, dan kini telah mencapai lebih dari 1,8 juta ha. Dari luas areal kelapa sawit rakyat ini, disamping perkebunan plasma, sebagian besar adalah perkebunan swadaya yang berinvestasi menggunakan dana sendiri atau pinjaman.

III. GLOBAL WARMING DAN FAKTANYA

Konsumsi energi merupakan kontributor terbesar dari meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK), sedangkan sektor pertanian menyumbang 14 % dari GRK (Gambar 1). Peran Indonesia terhadap emisi GRK pada sektor pertanian sangat kecil yaitu sekitar 1,35 % angka tersebut jauh di bawah negara-negara lainnya yang memberikan kontribusi besar terhadap emisi GRK seperti Cina, Amerika Serikat, Uni Eropa (EU-28), India, Rusia dan jepang (Tabel 3). Pada tahun 2010 tercatat secara total, kontribusi Indonesia terhadap emisi CO2 dunia hanya 1,3% (410 juta ton/tahun). Angka tersebut jauh di bawah 10 kontributor utama emisi CO2 dunia yaitu China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Kanada, Korea Selatan dan Inggris (Total 65,49%; 30,27 milyar ton; masing-masing di atas 500 juta ton/tahun) (International Energy Agency, 2012).
 
Gambar 1. Sumber emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001)



 

Gambar 1. Penghasil emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor (International Energy Agency, 2012)


Tabel 3. Negara penyumbang emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian (IEA, 2016)
 

IV. GAS RUMAH KACA (GRK) DI LAHAN GAMBUT UNTUK TANAMAN KELAPA SAWIT

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya sekitar 8,5% terhadap total hutan yang ada di Indonesia (129 juta ha), dimana sekitar 15% berada di lahan gambut. Areal perkebunan kelapa sawit di lahan gambut tersebut sekitar 11% dari total 14,9 juta ha lahan gambut yang ada di Indonesia (Sutarta et al., 2008). Berdasarkan persentase luasan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang relatif kecil sangat berlebihan jika dituduh berkontribusi besar terhadap global warming.
Emisi gas rumah kaca (GRK) rata-rata di lahan gambut pada kurun waktu 30 tahun menurut Melling and Henson (2009) sebesar 38 tCO2/ha/tahun; sementara menurut Hoijer et al. (2006) adalah 54 tCO2/ha/tahun. Semakin meningkat umur tanaman menunjukkan adanya kenaikan emisi CO2 (Gambar 2). Hal ini disebabkan karena adanya faktor respirasi akar tanaman kelapa sawit, dimana besarannya meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Hasil pengukuran emisi CO2 di bawah tegakan kelapa sawit berasal dari respirasi akar tanaman kelapa sawit dan respirasi tanah (respirasi heterotropik oleh mikroorganisme tanah). Winarna (2015) memperoleh kontribusi emisi CO2 dari respirasi akar adalah sebesar 33%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang memperoleh kisaran proporsi respirasi akar terhadap emisi CO2 adalah sekitar 14 - 40 %. Agus et al. (2010) memperoleh nilai kontribusi respirasi akar di bawah tegakan kelapa sawit sekitar 38 %, sedangkan Dariah et al. (2013) memperoleh nilai kontribusi respirasi akar yang lebih kecil yaitu sebesar 14 % pada tanaman umur 6 tahun. Sementara itu, Sabiham et al. (2014) memperoleh angka kontribusi respirasi akar lebih tinggi pada tanaman umur 15 tahun yaitu sebesar 74 %. Emisi CO2 pada areal bukaan baru tercatat paling rendah karena kontribusi dari respirasi akar tanaman sangat kecil.

Gambar 2. Emisi CO2 (ton/ha/tahun) pada beberapa penggunaan lahan gambut (IOPRI, 2009)

Tidak semua lahan gambut sesuai untuk kelapa sawit, ada beberapa kriteria yang diperlukan sebagai syarat tumbuh kelapa sawit. Sebelum mengusahakan gambut untuk kelapa sawit, tahap pertama yang perlu dilakukan adalah identifikasi karakteristik lahan gambut yang meliputi ketebalan, kematangan, dan tingkat kesuburan gambut. Perlu dicatat bahwa pengembangan kelapa sawit hanya dilakukan pada lahan gambut yang sesuai berdasarkan hasil evaluasi lahan. Pertimbangan lain dalam seleksi lahan untuk kelapa sawit adalah dengan memprioritaskan pada lahan-lahan yang terdegradasi/terlantar.

V. ASPEK EKOFISIOLOGI TANAMAN KELAPA SAWIT

Perkebunan kelapa sawit secara netto merupakan penyerap gas karbon dioksida (CO2), dengan serapan 64,5 ton CO2/ha/tahun. Serapan ini bahkan lebih tinggi dibanding rain forest (hutan tropis) yang hanya sebesar 42,4 ton/ha/tahun (Henson, 1999). Data netto serapan CO2 ini relatif sama dengan hasil penelitian Harahap et al., (2008) seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Kaitannya dengan hilangnya biomasa bagian atas (above ground biomass) saat hutan dikonversi ke kelapa sawit harus dilihat secara lebih cermat. Setiap pengembangan pertanian akan menyebabkan terjadi pengurangan above ground biomass, baik pada kelapa sawit, kedelai, rape seed maupun tanaman penghasil minyak lainnya. Namun, penanaman kelapa sawit dapat menggantikan above ground biomass lebih cepat dan lebih besar dibandingkan kedelai atau rape seed (Brassica napus), bahkan potensi produksi biomassa kelapa sawit lebih besar dibandingkan hutan tropis.

Tabel 4. Perbandingan respon ekofisiologi antara kebun kelapa sawit dan hutan tropis (Harahap et al., 2008)












Tabel 5. Perbandingan ekologis tanaman kelapa sawit dengan tanaman lainnya (Pasaribu, 2012; Mulyana, 2000)
 
Keterangan :*) Setelah 5 tahun; **) Hutan alam 25 ton/ha

Hal ini terkait dengan kemampuan tegakan untuk menyerap karbon dioksida (CO2) dan melepaskan oksigen (O2) dalam proses fotosintesis. Semakin banyak CO2 yang diserap oleh tumbuhan dan disimpan dalam bentuk biomassa karbon maka semakin besar pengaruh buruk efek rumah kaca dapat dikendalikan (Samsoedin et al, 2009). Nilai karbon tersimpan ditentukan dengan pengukuran biomassa pohon. Karbon tersimpan merupakan 50% dari biomassa pohon yang diukur, sehingga cadangan karbon berkorelasi positif dengan besarnya biomassa yang berarti semakin besar simpanan biomassa maka cadangan karbon akan semakin tinggi

VI. KEBUTUHAN AIR TANAMAN KELAPA SAWIT

Air merupakan komponen utama makhluk hidup, tidak terkecuali tanaman kelapa sawit. Air merupakan komponen utama dalam proses fisiologis tanaman, aktivitas metabolisme (fotosintesis dan respirasi), serta proses biokimia lainnya. Masing-masing tanaman memiliki tingkat kebutuhan air yang berbeda-beda. Kebutuhan air tanaman pada dasarnya adalah jumlah air yang dibutuhkan tanaman untuk menggantikan air yang hilang melalui tanaman itu sendiri (transpirasi) dan bidang tanah di sekitarnya (evaporasi). Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh iklim (radiasi surya, suhu, kecepatan angin, dan kelembaban udara) dan tanah (sifat fisika tanah). Hilangnya air akibat evaporasi dan transpirasi (yang selanjutnya disebut sebagai evapotranspirasi) yang tidak diikuti dengan irigasi/curah hujan yang cukup maka akan menyebabkan cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia tanaman. Gejala yang umum terjadi adalah pertumbuhan yang terhambat dan penurunan produksi (Murdiyarso, 1991).  
Curah hujan merupakan faktor lingkungan (iklim) yang sangat penting karena menjadi sumber air utama bagi pemenuhan kebutuhan air tanaman kelapa sawit. Berdasarkan hasil penelitian, kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang optimal adalah 4,10 - 4,65 mm/hari (Hidayat et al., 2013). Memang dibandingkan tanaman perkebunan lain, kelapa sawit memerlukan pasokan air yang lebih besar (Tabel 6). Akan tetapi, kebutuhan air tersebut sebenarnya hampir sama dengan kebutuhan air tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai.

Tabel 6. Kebutuhan air pada beberapa tanaman (diolah dari Doonrebos and Pruitt, 1977 dalam PPKS)
 
Keterangan : *) dalam tiga musim tanam

Secara sederhana, proses kehilangan dan penguapan air melalui evapotranspirasi (ET) pada tanaman kelapa sawit digambarkan pada Gambar 3. Proses ET terjadi pada bidang ET yang meliputi sistem tanaman dan tanah. Pada tanaman kelapa sawit, bidang ET adalah tanaman itu sendiri dan bidang tanah yang ternaungi oleh tanaman (piringan dengan ukuran jari-jari 250 cm).


 
 
 
Gambar 3. Skema sederhana neraca air dalam tanaman kelapa sawit (PPKS)

Hampir selama 3-4 siklus tanam (75 tahun) tanaman kelapa sawit telah ditanam di daerah-daerah sentra kelapa sawit seperti di Sumatera Utara, namun sampai saat ini belum pernah terjadi kekeringan di daerah-daerah tersebut. Selain itu, hasil penelitian pada tanaman kelapa sawit berumur 15 tahun di Kalianta, Riau, menunjukkan bahwa fluktuasi muka air tanah di perkebunan kelapa sawit dipengaruhi oleh curah hujan dan kondisi muka air tanahnya cenderung konstan. Penurunan muka air tanah justru terjadi pada areal pemukiman penduduk, serta areal terbuka dengan vegetasi yang kurang. Tanaman kelapa sawit juga memiliki tajuk yang memiliki kemampuan menahan air hujan (intersepsi) yang sama dengan tanaman hutan (21,23% dari total hujan yang terjadi). Sementara itu, kemampuan tajuk kelapa sawit dewasa dalam menahan air jauh lebih tinggi dibandingkan ekosistem tanaman pangan (Pasaribu et al., 2012). Kemampuan intersepsi tersebut tentu dapat mengurangi kehilangan air akibat laju limpasan permukaan (run-off) dan juga kerusakan struktur tanah akibat erosi.
Penelitian lain yang telah dilakukan Harahap (1997) di Gunung Tua, Sumatera Utara diketahui bahwa tanah pada pertanaman kelapa sawit memiliki bobot isi/bulk density (g/cm3) yang lebih kecil dibandingkan tanah bera (tanpa tanaman). Pada perkebunan kelapa sawit, umumnya memiliki C-organik yang lebih tinggi, persentase air tersedia, dan ruang pori tanah yang meningkat sehingga dapat menyimpan air yang lebih banyak dibandingkan tanah bera.
         Secara umum, produksi asimilat pada tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh (tanah dan iklim), populasi tanaman dan varietas tanaman. Pada kondisi tanpa cekaman kekeringan (kondisi kebutuhan air 4,1 - 4,65 mm/hari terpenuhi), Harahap dan Darmosarkoro (2000) menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta melakukan fotosintesis dengan distribusi asimilat sebagai berikut :







Tabel 7. Distribusi asimilat pada organ tanaman kelapa sawit (Harahap dan Darmosarkoro, 2000)
 









Tabel 8. Pembagian asimilat pada fase perkembangan tandan dari fase kuncup hingga pengisian minyak tanaman kelapa sawit (Pulungan et al., 1996)
 







Jadi dengan jumlah air sebesar 4,1 – 4,65 mm/hari atau 1.476 – 1.674 mm/tahun tanaman kelapa sawit dapat tumbuh optimal serta menghasilkan total biomassa 519,18 CH2O/pohon/tahun yang terdistribusi untuk mendukung perkembangan organ vegetatif (pelepah, batang, akar) dan generatif (TBS). Namun yang perlu dicatat adalah bahwa kebutuhan air tersebut tidak semata-mata untuk memproduksi asimilat/berfotosintesis, tetapi juga digunakan untuk perkembangan organ vegetatif, serta proses fisiologis dan biokimia lainnya.

VII. KESIMPULAN

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini semakin pesat. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu komoditas utama tanaman perkebunan yang penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa negara (Ambiyah 2012). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yakni perkebunan besar swasta (PBS) sebesar 51,86%, perkebunan rakyat (PR) sebesar 41,42%, dan perkebunan besar negara (PBN) sebesar 6,72%. Luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama 10 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan, yaitu 6,59 juta ha pada tahun 2006 menjadi 11,44 juta ha pada tahun 2015 (Indonesian Palm Oil Statistic, 2007; PASPI 2016).
Namun beberapa tahun terakhir ini industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menjadi sorotan negara-negara Uni Eropa dan Amerika karena alasan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Maka diperlukan kajian dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, untuk memastikan sebagai industri yang ramah lingkungan sekaligus bisa meningkatkan produktivitasnya.
Konsumsi energi merupakan kontributor terbesar dari meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK), sedangkan sektor pertanian menyumbang 14 % dari GRK. Peran Indonesia terhadap emisi GRK pada sektor pertanian sangat kecil yaitu sekitar 1,35 % angka tersebut jauh di bawah negara-negara lainnya yang memberikan kontribusi besar terhadap emisi GRK seperti Cina, Amerika Serikat, Uni Eropa (EU-28), India, Rusia dan jepang.
Emisi gas rumah kaca (GRK) rata-rata di lahan gambut pada kurun waktu 30 tahun menurut Melling and Henson (2009) sebesar 38 tCO2/ha/tahun; sementara menurut Hoijer et al. (2006) adalah 54 tCO2/ha/tahun. Semakin meningkat umur tanaman menunjukkan adanya kenaikan emisi CO2. Hal ini disebabkan karena adanya faktor respirasi akar tanaman kelapa sawit, dimana besarannya meningkat dengan bertambahnya umur tanaman.
Perkebunan kelapa sawit secara netto merupakan penyerap gas karbon dioksida (CO2), dengan serapan 64,5 ton CO2/ha/tahun. Serapan ini bahkan lebih tinggi dibanding rain forest (hutan tropis) yang hanya sebesar 42,4 ton/ha/tahun. penanaman kelapa sawit dapat menggantikan above ground biomass lebih cepat dan lebih besar dibandingkan kedelai atau rape seed, bahkan potensi produksi biomassa kelapa sawit lebih besar dibandingkan hutan tropis.
Tanaman kelapa sawit tidak rakus akan air seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Jika terjadi curah hujan berlebih, kelebihan air akan tersimpan dalam tanah (melalui infiltrasi dan perkolasi) dan sebagian lainnya menjadi runoff. Sementara itu, jika mengalami kekurangan air, akar tanaman akan menyerap air dari dalam tanah tetapi jumlah air yang diserap tidak secara signifikan menurunkan muka air tanah. Oleh karena itu, dengan teknik konservasi tanah dan air yang tepat dalam sistem manajemen kebun, seharusnya perkebunan kelapa sawit bukanlah “penyedot air” tetapi akan menjadi “penabung air”. Perkebunan kelapa sawit menabung air dan menjadi penggerak ekonomi.
Penelitian lain yang telah dilakukan Harahap (1997) di Gunung Tua, Sumatera Utara diketahui bahwa tanah pada pertanaman kelapa sawit memiliki bobot isi/bulk density (g/cm3) yang lebih kecil dibandingkan tanah bera (tanpa tanaman). Pada perkebunan kelapa sawit, umumnya memiliki C-organik yang lebih tinggi, persentase air tersedia, dan ruang pori tanah yang meningkat sehingga dapat menyimpan air yang lebih banyak dibandingkan tanah bera






















DAFTAR PUSTAKA

Ambiyah A. 2012. The Economic and Environmental Analysis of Oil palm Expansion in Indonesia: Export Demand Approach and EIRSAM Model. [Disertasi]. Nagoya (JPN): Nagoya University.

[DIRJENBUN] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesi

Ditjenbun. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015. Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Doonrebos J and W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements. FAO Irrigation and Drainage Paper. Food and Agriculture Organization of United Nation, Rome.

Erwin Masrul Harahap, 1999. Perkembangan Akar Tanaman Kelapa Sawit pada Tanah Terdegradasi di Sosa, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Institut Pertanian Bogor. Thesis

Harahap, I. Y. dan W. Darmosarkoro. 2000. Partisi Pertumbuhan Organ dan Produksi Bahan Kering Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 8(2): 97-1006.

Hidayat, T. C., I. Y. Harahap, Y. Pangaribuan, S. Rahutomo, W.A. Harsanto, dan W.R. Fauzi. 2013. Air dan Kelapa Sawit. Seri kelapa Sawit Populer 12. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).

Pasaribu, H., A Mulyadi, dan S. Tarumun. 2012. Neraca air di perkebunan kelapa sawit di PPKS Sub Unit Kalianta, Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 6 (2) : 99-113. ISSN : 1978-5283.

[PASPI] Oil palm Agribusiness Strategic Policy Institute. 2016. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Bogor (ID).

Pulungan, Z., I. Y. Harahap, dan A. R. Purba. 1996. Aspek Fenologis Daun di Dalam Aktivitas Pertumbuhan dan Perkembangan Tandan Kelapa Sawit (Elaeis guineensi Jacq.) Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 4. (2): 59-76.

Ritung S, Wahyunto, Nugroho K, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto C. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Samsoedin, I., I. W. S Dharmawan, A. Siregar. 2009. Potensi Biomassa Karbon Hutan Alam dan Hutan Bekas Tebangan Setelah 30 Tahun di Hutan Penelitian Malinau, Kalimantan Timur.Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.Vol. IV No. 1. Hal 47-56.

Sardjono, M. 2017. Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit: Perspektif Lingkungan. Menteri Pertanian Bidang Lingkungan.

Suprayogo. 2011. Kampanye Negatif Kelapa Sawit Indonesia, Potensi Kelapa Sawit Indonesia. Warta Ekspor. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta.

Susila, W. R. 2004. Contribution of Palm Oil Industry to Economic Growth and Poverty Allevation in Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 23(3): 107-114.

Tropenbos International Indonesia. 2012. Kajian Penggunaan Lahan Gambut di Indonesia. Disampaikan pada seminar “Lahan Gambut: Maslahat atau Mudharat”. 15 Maret 2012. Jakarta, Indonesia. Forum Wartawan Pertanian.