Minggu, 05 Agustus 2012

FIKSASI NITROGEN OLEH BAKTERI Rhizobium


FIKSASI NITROGEN OLEH BAKTERI Rhizobium

I. PENDAHULUAN

Salah satu pendekatan untuk melakukan penghematan dalam pemakaian pupuk anorganik, yakni dengan meningkatkan efisiensi penggunaan N tersedia dalam tanah melalui penambatan N2, baik secara langsung atau interaksi dengan bakteri penambat N2 (Simanungkalit et al., 2007). Pemanfaatan bakteri fiksasi N2, baik yang diaplikasikan melalui tanah maupun disemprotkan pada tanaman, mampu meningkatkan efisiensi pemupukan N. Dalam upaya mencapai tujuan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan, penggunaan bakteri fikasi N2 berpotensi mengurangi kebutuhan pupuk N sintetis, meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani dengan masukan yang lebih murah (Saraswati dan Sumarno, 2008).
Bakteri Rhizobium adalah salah satu contoh kelompok bakteri yang berkemampuan sebagai penyedia hara bagi tanaman. Bila bersimbiosis dengan tanaman legum, kelompok bakteri ini akan menginfeksi akar tanaman dan membentuk bintil akar didalamnya. Rhizobium hanya dapat memfiksasi nitrogen atmosfer bila berada di dalam bintil akar dari mitra legumnya. Peranan Rhizobium terhadap pertumbuhan tanaman khususnya berkaitan dengan masalah ketersediaan nitrogen bagi tanaman inangnya (Rao, 2007).
Rhizobium yang berasosiasi dengan tanaman legum mampu memfiksasi       100-300 kg N/ha dalam satu musim tanam dan meninggalkan sejumlah N untuk tanaman berikutnya (Sutanto, 2002 dalam Rahmawati, 2005). Rhizobium mampu mencukupi 80% kebutuhan nitrogen tanaman leguminosa dan meningkatkan produksi antara 10%-25%. Permasalahan yang perlu diperhatikan adalah efisiensi inokulan Rhizobium untuk jenis tanaman tertentu, tanggapan tanaman sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah dan efektivitas populasi asli (Sutanto, 2002).  

II. BAKTERI Rhizobium

Rhizobium adalah salah satu contoh kelompok bakteri yang berkemampuan sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Bila bersimbiosis dengan tanaman legume, kelompok bakteri ini akan menginfeksi akar tanaman dan membentuk bintil akar didalamnya. Rhizobium hanya dapat memfiksasi nitrogen atmosfer bila berada di dalam bintil akar dari mitra legumnya. Peranan Rhizobium terhadap pertumbuhan tanaman khususnya berkaitan dengan masalah ketersedian nitrogen bagi tanaman inangnya (Rao, 1994). Karakteristik bakteri Rhizobium secara makroskopis adalah warna koloni putih susu, tidak transparan, bentuk koloni sirkuler, konveks, semitranslusen, diameter 2–4 mm dalam waktu 3–5 hari pada agar khamir-manitol-garam mineral. Secara mikroskopis sel bakteri Rhizobium berbentuk batang, aerobik, gram negatif dengan ukuran 0,5–0,9 × 1,2–3 µm, bersifat motil pada media cair, umumnya memiliki satu fagela polar atau subpolar. Untuk pertumbuhan optimum dibutuhkan temperatur 25–30° C, pH 6–7 (kecuali galur-galur dari tanah masam). Bakteri Rhizobium bersifat kemoorganotropik, yaitu dapat mengunakan berbagai karbohidrat dan garam-garam asam organik sebagai sumber karbonnya (Holl, 1975).
Bakteri Rhizobium aktif dapat diketahui secara visual dari bintil - bintil bundar di akar tanaman. Bila akar dibelah, didalamnya akan tampak warna kemerahan bila bagian ini dipijit, akan keluar cairan kemerahan. Bakteri Rizobium akan giat mengadakan fiksasi N pada tanah yang kandungan nitrogennya rendah dan akan berkurang pada tanah yang kandungan nitrogennya tinggi. Bakteri Rhizobium mampu bertahan di dalam tanah selama beberapa tahun  (Ismawati, 2003). 
Rhizobium yang berasosiasi dengan tanaman legum mampu memfiksasi 100-300 kg N/ha dalam satu musim tanam dan meninggalkan sejumlah N untuk tanaman berikutnya (Sutanto, 2002 dalam Rahmawati, 2005). Rhizobium mampu mencukupi 80% kebutuhan nitrogen tanaman leguminosa dan meningkatkan produksi antara   10%-25%. Permasalahan yang perlu diperhatikan adalah efisiensi inokulan Rhizobium untuk jenis tanaman tertentu, tanggapan tanaman sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah dan efektivitas populasi asli (Sutanto, 2002).  

III. SIMBIOSIS ANTARA Rhizobium DENGAN LEGUMINOSA

Simbiosis antara Rhizobium dengan leguminosa dicirikan oleh pembentukan struktur bintil akar pada tanaman inang (leguminosa). Pembentukan bintil akar diawali dengan sekresi produk metabolisme tanaman ke daerah perakaran yang menstimulasi pertumbuhan bakteri. Secara umum tahap pembentukan bintil akar pada tanaman leguminosa terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu : 1. Pengenalan pasangan yang sesuai antara tanaman dengan bakteri yang diikuti oleh pelekatan bakteri Rhizobium pada permukaan rambut akar tanaman; 2. Invasi rambut akar oleh bakteri melalui pembentukan benang infeksi; 3. Perjalanan bakteri ke akar utama melalui benang infeksi; 4. Pembentukan sel-sel bakteri yang mengalami deformasi, yang disebut sebagai bakteriod, didalam sel akar tanaman; 5. Pembelahan sel tanaman dan bakteri sehingga terbentuk bintil akar.
Simbiosis antara strain-strain Rhizobium dengan spesies leguminosa terdapat perbedaan dalam keserasiannya, bahkan keserasian dalam hubungan simbiosis itu terdapat antara strain-strain Rhizobium dengan varietas-varietas tanaman leguminosa. Hubungan yang serasi akan menghasilkan bintil akar yang sangat efektif dalam fiksasi nitrogen (Yutono, 1985) (Tabel 1).

Tabel 1. Beberapa spesies Rhizobium dan tanaman simbiosisnya.  
No.
Spesies Rhizobium
Tanaman Simbiosis
1
R. leguminasorum
Pea (Pisum spp), lentil ( Lens culinaris)
2
R. phaseoli
Kacang buncis (Phaseolus vulgaris)
3
R. trifolii
Clover ( Trifolium subteranim)
4
R. melioti
Alfafa (Medicago sativa) 
5
R. lupini
Lupin (Lupinus, spp) 
6
R. japonicum
Kedelai ( Glycine max)
7
Rhizobium. spp
Cowpea (Vigna, spp),
kacang tanah (Desmodium spp)
Sumber : Dewi, (2007).

Salah satu sifat penting dalam pola pembentukan bintil akar adalah waktu yang dibutuhkan untuk membentuk bintil akar dan memulai fiksasi N2. Permulaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah strain Rhizobia. Strain yang pertama membentuk bintil akar adalah strain yang mampu bersaing dengan bakteri yang membentuk bintil akar lebih lambat. Faktor lain yang mempengaruhi kecepatan pembentukan bintil akar adalah populasi Rhizobia, kelembaban tanah dan kandungan nitrogen tanah (Gibson et al., 1987).
Bakteri yang terdapat didalam akar kemudian tumbuh secara cepat dan mengalami perubahan bentuk menjadi struktur bercabang yang disebut sebagai bakteroid. Bakteroid dikelilingi oleh membran sel tanaman yang disebut membran peribakteroid. Pengikatan nitrogen baru dapat terjadi setelah terbentuk struktur bakteroid. Jika tanaman mati maka bintil akar akan rusak sehingga bakteri terlepas keluar dari sel - sel akar tanaman (Yuwono, 2006).

IV. PROSES FIKSASI NITROGEN OLEH Rhizobium

Untuk mengfiksasi nitrogen, bakteri Rhizobium menggunakan enzim nitrogenase, dimana enzim ini akan menambat gas nitrogen di udara dan merubahnya menjadi gas amoniak dan kemudian asetylen menjadi ethylen. Gen  yang mengatur proses penambatan ini adalah gen nif (nitrogen - fixation). Gen – gen nif ini berbentuk suatu rantai, tidak terpencar kedalam sejumlah DNA yang sangat besar yang menyusun kromosom bakteri, tetapi semuanya terkelompok dalam suatu daerah. Nitrogenase adalah dua  protein  kompleks. Satu komponen, dinamakan nitrogenase reduktase (NR) adalah besi (Fe) berisi protein yang menerima elektron dari ferredoxin, reduktat kuat, dan kemudian mengirimkannya kekomponen lainnya dinamakan nitrogenase atau MOFe protein (Iron-Molybdenum Protein).
Reduksi N2 ke NH3 di dalam nodul dari legum dikatalisis oleh enzim Nitrogenase dalam bakteroid Rhizobium. Enzim ini dipengaruhi oleh oksigen, menyebabkan inaktivasi yang tidak balik. Suatu hal penting yang perlu diperhatikan bila melakukan ekstraksi dan pemurnian enzim ini ialah kondisinya yang anaerobik. Enzim ini terdiri dari 2 protein yang mengkatalisis reduksi N2 (tidak akan mengkatalisis reduksi N2 tanpa yang lainnya).
Dalam proses fiksasi nitrogen, baik nitrogenase (protein Mo-Fe) maupun nitrogenase reduktase (protein Fe) bersifat esensial dalam penambatan nitrogen. Protein Fe berintekrasi dengan Mg++ sedangkan protein Mo-Fe mengkatalisis reduksi N2 menjadi NH3, H+ menjadi H2 dan mengubah asitetilen menjadi etilen. Selama penambatan nitrogen, sumber reduktan untuk transfer electron berasal dari ferredoxin atau flavodoxin yang tereduksi. Ferrodoxin yang tereduksi memberikan electron ke frotein Fe sehingga mereduksi protein Mo-Fe dan diikuti oleh pelepasan phosphat anorganik (Pi). kompleks enzim nitrogenase memperoleh energi dari ATP yang dihasilkan pada saat terjadi proses respirasi. Akhirnya, protein Mo-Fe memberikan electron ke substrat yang dapat direduksi, misalnya N2. Secara umum reaksi penambatan nitrogen pada bintil akar legume dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :
                                                                         Mg ++
N2 + 16 ATP + 8 e- + 10 H+ --------- >  2 NH4+ + H2+ + 16 ADP + 16 Pi

Ammonia adalah produk stabil pertama pada proses fiksasi nitrogen. Setelah terbentuk, ammonia kemudian ditransfer melalui membran bakteroid ke sel tanaman yang selanjutnya akan digunakan dalam metabolisme tanaman. (Yuwono, 2006).

V. PEMANFAATAN Rhizobium UNTUK FIKSASI N2 SEBAGAI EFISIENSI PEMUPUKAN NITROGEN

Salah satu pendekatan untuk melakukan penghematan dalam pemakaian pupuk anorganik, yakni meningkatkan efisiensi penggunaan N tersedia dalam tanah melalui penambatan N2, baik secara langsung atau interaksi dengan bakteri penambat N2. Pemanfaatan bakteri penambat N2, baik yang diaplikasikan melalui tanah ataupun benih (seed coating) mampu meningkatkan efisiensi pemupukan N (Simanungkalit    et al., 2007).
Hasil penelitian Surtiningsih et al., (2009) menunjukkan bahwa pengaruh pemberian spesies Rhizobium yang berbeda terhadap hasil rata-rata biomasa tanaman, berat bintil akar dan berat kering biji. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (a > 0,05) antara spesies Rhizobium yang berbeda terhadap biomasa tanaman, berat bintil akar dan berat kering biji kedelai/tanaman, walaupun demikian pemberian pupuk bakteri Rhizobium japonicum, R. phaseoli, R. leguminosarum dan Campuran Rhizobium menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa diberi bakteri Rhizobium) baik untuk pertumbuhan maupun produksi berat kering biji kedelai/tanaman, sementara itu pengaruh campuran spesies Rhizobium (campuran R1, R2, R3) menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada pupuk bakteri spesies tunggal terhadap pertumbuhan (biomasa = 5,7 ± 8,9 g), bintil akar (26,2 ± 39,7 mg) maupun produksi tanaman berat kering biji kedelai (8,0 ± 15,1 g/tanaman) (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh pemberian spesies Rhizobium terhadap biomassa tanaman, berat bintil akar dan berat kering biji kedelai/tanaman
No
Spesies Rhizobium
Biomasa tanaman
(g)
Berat bintil akar/tanaman
(mg)
Berat kering biji/tanaman
(g)
1
R0 = Kontrol
1,0 ± 0,6
2,9 ± 5,0
0,89 ± 0,4
2
R1 = R. japonicum
2,8 ± 0,8
21,5 ± 29,4
4,9 ± 5,2
3
R2 = R. phaseoli
3,9 ± 1,4
8,2 ± 10,4
3,8 ± 0,7
4
R3 = R. leguminosarum
2,7 ± 3,9
2,2 ± 3,4
2,7 ± 2,0
5
R4 = Campuran R1, R2, R3
5,7 ± 8,9
26,2 ± 39,7
8,0 ± 15,1
Sumber : Surtiningsih et al., (2009).

Madigan et al., (2002), mengungkapkan bahwa bintil akar efektif mampu menambat nitrogen dari udara dan mengkonversi N menjadi asam amino untuk disumbangkan kepada tanaman kacang-kacangan. Elkan (1992), menjelaskan bahwa terbentuknya bintil akar efektif yang lebih banyak mampu meningkatkan penambatan nitrogen yang selanjutnya digunakan untuk membentuk klorofl dan enzim. Peningkatan klorofl dan enzim mampu meningkatkan fotosintesis yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan generatif (hasil produksi biji) tanaman.
Tabel 3 menunjukkan pengaruh pemberian dosis inokulum bakteri Rhizobium terhadap hasil rata-rata biomasa tanaman, berat bintil akar dan berat kering biji kedelai/tanaman. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (a > 0,05) antara dosis inokulum bakteri Rhizobium yang berbeda terhadap biomasa tanaman, berat bintil akar dan berat kering biji, walaupun demikian ada kecenderungan pemberian inokulum bakteri Rhizobium dengan dosis 5 dan 10 ml, menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa diberi bakteri Rhizobium) baik untuk pertumbuhan maupun produksi berat kering biji kedelai/tanaman, sementara itu pengaruh dosis inokulum bakteri Rhizobium 10 ml (D2) menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada dosis inokulum bakteri Rhizobium 5 ml maupun kontrol (tanpa diberi inokulum bakteri Rhizobium), baik terhadap pertumbuhan (biomasa = 4,73 ± 6,52 g), bintil akar (22,94 ± 33,61 mg) maupun produksi tanaman berat kering biji kedelai (6,06 ± 10,49 g/tanaman).

Tabel 3. Pengaruh pemberian dosis inokulum bakteri Rhizobium terhadap biomasa tanaman, berat bintil akar dan berat kering biji kedelai/tanaman
No.
Dosis inokulum
bakteri Rhizobium
Biomassa
tanaman
(g)
Berat bintil
akar/tanaman
(mg)
Berat kering
biji/tanaman
(g)
1
D0 = kontrol
1,0 ± 0,6
2,9 ± 5,0
0,89 ± 0,4
2
D1 = 5 ml
2,28 ± 1,76
5,1 ± 9,23
3,13 ± 3,85
3
D2 = 10 ml
4,73 ± 6,52
22,94 ± 33,61
6,06 ± 10,49
Sumber : Surtiningsih et al., (2009).

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, I. R. 2007. Fiksasi N Biologis pada Ekosistem Tropis. Tugas Makalah Mata Kuliah Biofertilisasi. Program Pasca Sarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Ghanem, R. A., Boggs, L. C. and Smith, J. L. 2011. Cultivar Effects On Nitrogen Fixation In Peas And Lentils. Crop and Soil Sciences, Washington State University, USA.

Saraswati, R. dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan Mikroba Penyubur Tanah Sebagai komponen Teknologi Pertanian. Balai Penelitian Tanah. Iptek tanaman Pangan.

Simanungkalit, R. D. M., Saraswati, R., Hastuti, R, D. dan Husen, E. 2007. Bakteri Penambat Nitrogen. Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian.

Surtiningsih, T., Farida, dan Nurhariyati. 2009. Biofertilisasi Bakteri Rhizobium Pada Tanaman Kedelai. Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.


PENGGUNAAN MULSA UNTUK MENEKAN DAMPAK NEGATIF CEKAMAN KEKERINGAN PADA TANAMAN


PENGGUNAAN MULSA UNTUK MENEKAN DAMPAK NEGATIF CEKAMAN KEKERINGAN PADA TANAMAN

I. PENDAHULUAN

Salah satu cara untuk mengatasi kekeringan adalah dengan cara pemberian mulsa. Mulsa merupakan material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan  untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit  sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik dan optimal. Teknologi pemulsaan dapat mencegah evaporasi. Dalam hal ini air yang menguap dari permukaan tanah akan ditahan oleh bahan mulsa dan jatuh kembali ke tanah. Akibatnya lahan yang ditanami tidak akan kekurangan air  karena penguapan air ke udara hanya terjadi melalui proses transpirasi (Lesmana, 2010)
Disamping itu mulsa dapat berperan mengubah keadaan iklim mikro yang dapat mempengaruhi sifat tanah, menguntungkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan peningkatan hasil tanaman. (Soewardjo, 1981). Mulsa dibedakan menjadi dua macam dilihat dari bahan asalnya yaitu mulsa organik dan anorganik. Mulsa organik berasal dari bahan-bahan alami yang mudah terurai seperti sisa-sisa tanaman (jerami). Keuntungan mulsa organik adalah lebih ekonomis (murah), mudah didapatkan, dan dapat terurai sehingga menambah bahan organik dalam tanah, sedangkan mulsa anorganik terbuat dari bahan sintesis yang tidak dapat terurai (mulsa plastik). Mulsa plastik harganya mahal terutama mulsa plastik hitam perak, namun dapat digunakan lebih dari satu kali musim tanam (Kadarso, 2008). Jenis mulsa yang berbeda memberikan pengaruh berbeda pula pada pengaturan suhu, kelembaban, dan kandungan air tanah.

II.  PENGGUNAAN MULSA UNTUK MENEKAN DAMPAK NEGATIF CEKAMAN KEKERINGAN PADA TANAMAN

Salah satu modifikasi lingkungan perakaran tanaman antara lain dapat dilakukan dengan penggunaan mulsa. Mulsa menimbulkan berbagai keuntungan, baik dari aspek fisik maupun kimia tanah. Secara fisik mulsa mampu menjaga suhu tanah lebih stabil dan mampu mempertahankan kelembaban di sekitar perakaran tanaman. Penggunaan mulsa akan mempengaruhi suhu tanah. Penggunaan mulsa akan mencegah radiasi langsung matahari (Doring et al., 2006; Bareisis dan Viselga, 2002). Suhu tanah maksimum di bawah mulsa jerami pada kedalaman 5 cm 10ºC lebih rendah dari pada tanpa mulsa, sedangkan suhu minimum 1.9˚C lebih tinggi (Midmore, 1983 dan Mahmood et  al., 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Hamdani, (2009), pengaruh jenis mulsa terhadap suhu tanah dan kelembaban tanah menunjukkan bahwa perbedaan suhu tanah antara perlakuan tanpa mulsa dan mulsa jerami pada pagi hari tidak berbeda, tetapi mulsa plastik hitam perak menunjukkan suhu tanah yang lebih tinggi, sedangkan pada sore hari mulsa jerami menunjukkan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan suhu tanah tanpa mulsa dan mulsa plastik hitam perak. Penggunaan mulsa jerami mengakibatkan penurunan suhu tanah siang hari pada kedalaman 5 cm sebesar 60C lebih rendah dibandingkan tanpa mulsa, sedangkan pada mulsa plastik hitam perak sebesar 30C (Tabel 1).

Tabel 1. Pengaruh Jenis Mulsa Terhadap Rata-Rata Suhu Tanah dan Kelembaban Tanah Umur 4 MST Sampai 10 MST

No
Perlakuan
Pagi
Siang
Sore


......... Suhu tanah (0C) .........
1
Tanpa Mulsa
22,3
31,5
29,2
2
Mulsa Jerami
22,5
25,5
24,8
3
Mulsa Plastik Hitam Perak
25,4
28,5
29,1


......... Kelembaban tanah (%) .........
4
Tanpa Mulsa
59,1
47,0
53,0
5
Mulsa Jerami
63,7
59,6
62,7
6
Mulsa Plastik Hitam Perak
65,5
62,2
63,0
Keterangan : Pagi : Pukul 700 - 800, Siang : Pukul 1300 - 1400, Sore : Pukul 1600 - 1700. Sumber : Hamdani, (2009).  

Menurut Mahmood et al., (2002) penurunan suhu tanah oleh mulsa  disebabkan karena  penggunaan  mulsa  dapat  mengurangi  radiasi yang  diterima  dan diserap oleh tanah sehingga dapat menurunkan suhu tanah pada siang hari. Herlina dan Sulistyono, (1990) menyatakan, dengan menurunkan suhu udara dan tanah dapat menekan kehilangan air dari permukaan tanah. sehingga mengurangi adanya cekaman kekeringan. Menurut Timlin et al., (2006) suhu tanah yang rendah dapat mengurangi laju respirasi akar sehingga asimilat yang dapat disumbangkan untuk penimbunan cadangan bahan makanan menjadi lebih banyak dibanding  pada perlakuan tanpa mulsa. Pada suhu tanah 30 ºC aktifitas beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme pati tertekan, sehingga terjadi penurunan kadar pati  pada umbi (Krauss dan Marschsur, 1984).  
Penggunaan  jerami  padi sebagai  mulsa  pada  budidaya tanaman kedelai setelah padi sawah sudah  biasa  dilakukan  oleh  petani. Hasil  penelitian  manfaat penggunaan mulsa pada kedelai menunjukkan adanya kenaikan hasil biji sebesar 30% apabila tanah tidak diolah dan diberi mulsa (Yuliani, 2009) (Tabel 2). Hal  ini  menurut Herlina dan Sulistyono (1990) mulsa jerami mampu menekan  evapotranspirasi, menurunkan suhu udara dan tanah sehingga menekan  kehilangan  air dari  permukaan tanah. sehingga mengurangi adanya cekaman kekeringan.
            Mulsa jerami mempunyai daya pantul lebih tinggi dibandingkan dengan  mulsa plastik (Doring et al., 2006). Menurut Mahmood et al., (2002) mulsa jerami atau mulsa yang berasal dari sisa tanaman lainnya  mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke permukaan tanah akan lebih sedikit  dibandingkan dengan  tanpa  mulsa  atau  mulsa dengan konduktivitas panas yang tinggi seperti plastik.

Tabel 2. Pengaruh Mulsa Jerami Padi (5 t/ha) Terhadap Hasil Kedelai di Lahan Sawah

No
Perlakuan
Hasil Biji (t/ha)
1
Tanpa Mulsa
0.95
2
Tanpa Mulsa, Tanpa Olah Tanah
1,32
3
Dengan Mulsa, Tanpa Olah Tanah
1,89
4
Tanpa Mulsa, Tanah Diolah Satu kali
1,64
5
Dengan Mulsa, Tanah diolah Satu Kali
1,97
Sumber : Yuliani, (2009).

Tabel 3. Pengaruh Jenis Mulsa Terhadap Rata-Rata Jumlah dan Berat Cabai Merah Segar per Tanaman Varietas Red Charm

No
Perlakuan
Jumlah (bh/tan)
Berat (g/tan)
1
Tanpa Mulsa
106,22 d
743,45 d
2
Jerami
143,87 c
973,65 c
3
Plastik Transparan
195,14 b
1362,76 b
4
Plastik Hitam
176,93 b
1258,74 b
5
Plastik Hitam Perak
226,99 a
1570,88 a
Sumber : Kadarso, (2008).

            Hasil penelitian Kadarso, (2008), menunjukkan bahwa hasil jumlah cabai merah segar pertanaman pada penggunaan mulsa plastik hitam perak memberikan hasil tertinggi (226,99 bh), disusul dengan penggunaan mulsa plastik transparan (195,14 bh), penggunaan mulsa plastik hitam (176,93 bh), kemudian penggunaan mulsa jerami (143,87 bh), dan tanpa penggunaan mulsa (106,22 bh). Sedangkan pada berat cabai merah segar pertanaman tertinggi juga terdapat pada penggunaan mulsa plastik hitam perak (1570,88 g), disusul penggunaan mulsa plastik transparan (1362,76 g), penggunaan mulsa plastik hitam (1258,74 g), kemudian penggunaan mulsa jerami (973,65 g), dan tanpa penggunaan mulsa (743,45 g) (Tabel 3).
            Hal ini diduga karena manfaat penggunaan mulsa plastik menjaga kelembaban dalam tanah sehingga fluktuasi suhu permukaan dapat dihindari, mencegah pencucian unsur hara oleh air hujan dan mencegah penguapan unsur hara terutama nitrogen. penggunaan mulsa plastik juga dapat mempertahankan lengas tanah lebih baik dibandingkan mulsa jerami dan tanpa mulsa. Kecepatan hilangnya uap air atau uap air melalui mulsa biasanya sangat lambat dibandingkan kecepatan hilangnya air dari permukaan tanah. Hilangnya air yang disebabkan oleh evaporasi dari tanah yang diberi mulsa harus diubah dari bentuk cair ke uap air di permukaan tanah. Uap air ini kemudian harus menyebar melalui mulsa tebal yang dengan nyata menurunkan kecepatan hilangnya air dibanding permukaan tanah yang terbuka, mulsa menurunkan jumlah radiasi sinar langsung ke permukaan tanah, sehingga mengurangi jumlah energi yang tersedia untuk mengubah air dari cairan ke uap air dan mulsa berperan sebagai isolasi penurunan konduksi panas ke tanah (Kadarso, 2008).

III.  KESIMPULAN


Penggunaan mulsa jerami mengakibatkan penurunan suhu tanah siang hari pada kedalaman 5 cm sebesar 60C lebih rendah dibandingkan tanpa mulsa, sedangkan pada mulsa plastik hitam perak sebesar 30C. Dengan menurunnya suhu udara dan tanah dapat menekan kehilangan air dari permukaan tanah. sehingga mengurangi adanya cekaman kekeringan.
            Penggunaan mulsa pada kedelai menunjukkan adanya kenaikan hasil biji sebesar 30% apabila tanah tidak diolah dan diberi mulsa. Mulsa jerami mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke permukaan tanah akan lebih sedikit  dibandingkan dengan  tanpa  mulsa  atau  mulsa dengan konduktivitas panas yang tinggi seperti plastik.
            Hasil jumlah dan berat cabai merah segar pertanaman tertinggi terdapat pada penggunaan mulsa plastik hitam perak, disusul dengan penggunaan mulsa plastik transparan, penggunaan mulsa plastik hitam, kemudian penggunaan mulsa jerami, dan tanpa penggunaan mulsa. Hal ini diduga karena manfaat penggunaan mulsa plastik menjaga kelembaban dalam tanah sehingga fluktuasi suhu permukaan dapat dihindari, juga dapat mempertahankan lengas tanah lebih baik dibandingkan mulsa jerami dan tanpa mulsa. Kecepatan hilangnya uap air atau uap air melalui mulsa biasanya sangat lambat dibandingkan kecepatan hilangnya air dari permukaan tanah.  


DAFTAR PUSTAKA



Hamdani, J. S. 2009. Pengaruh  Jenis Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Kultivar Kentang (Solanum tuberosum L.) yang Ditanam di Dataran Medium. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bandung. http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalagronomi/article/download/1389/487. [Diakses 11 Juli 2012].

Kadarso. 2008. Kajian Penggunaan Jenis Mulsa Terhadap Hasil Tanaman Cabai Merah Varietas Red Charm. Fakultas Pertanian, Universitas Janabadra. Yogyakarta. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/10208134139_1411-0172.pdf. [Diakses 09 Juli 2012].

Ramli. 2010. Respon Varietas Kubis (Brassica oleraceae) Dataran Rendah Terhadap Pemberian Berbagai Jenis Mulsa. Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako. Sulawesi Tengah. http://jurnal.untad.ac.id/jurnal /index.php/AGROLAND/article/download/276/232. [Diakses 11 Juli 2012].

Yuliani, F. 2009. Upaya Menekan Kehilangan Hasil Akibat Cekaman Kekeringan Pada Kedelai di Lahan Sawah. http://jurnal.umk.ac.id/mawas/2009/Juni/ UPAYA%20MENEKAN%20KEHILANGAN%20HASIL%20AKIBAT%20CEKAMAN.pdf. [Diakses 09 Juli 2012].