PENGEMBANGAN
KELAPA SAWIT DAN ISU LINGKUNGAN
I. PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan
tanaman tropis yang memiliki nilai komoditas yang penting, perkebunan kelapa
sawit komersial pertama di Indonesia mulai diusahakan pada tahun 1911 di Aceh
dan Sumatera Utara (Naibaho, 1988, dalam Morario). Perkembangan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini semakin pesat. Kelapa sawit (Elaeis
guineensis) merupakan salah satu komoditas utama tanaman perkebunan yang
penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa negara (Ambiyah
2012). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) pengusahaan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yakni perkebunan
besar swasta (PBS) sebesar 51,86%, perkebunan rakyat (PR) sebesar 41,42%, dan
perkebunan besar negara (PBN) sebesar 6,72%. Luas area perkebunan kelapa sawit
di Indonesia selama 10 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan, yaitu
6,59 juta ha pada tahun 2006 menjadi 11,44 juta ha pada tahun 2015 (Indonesian
Palm Oil Statistic, 2007; PASPI 2016).
Kelapa sawit sebagai
tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman
perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia.
Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati
dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan
kelapa sawit. Berkembangnya sub sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia
tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif,
terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan
perkebunan rakyat dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar
swasta.
Ekspansi kebun kelapa
sawit memberikan dampak ekonomi, lingkungan, dan pengembangan industri CPO.
Menurut Susila (2004) kontribusi industri berbasis kelapa sawit mempunyai
peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan perbaikan
distribusi pendapatan. Pengembangan kelapa sawit berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh pertumbuhan investasi, output,
dan devisa. Industri berbasis kelapa sawit juga mempunyai kontribusi signifikan
terhadap kesejahteraan rumah tangga yang berasal dari usaha kelapa sawit
(Susila 2004).
Namun beberapa tahun terakhir ini industri
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menjadi sorotan negara-negara Uni
Eropa dan Amerika karena alasan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Maka
diperlukan kajian dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, untuk
memastikan sebagai industri yang ramah lingkungan sekaligus bisa meningkatkan
produktivitasnya. Identifikasi dan pemetaan seluruh potensi industri perkebunan
kelapa sawit di Indonesia untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif
yang terbarukan guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional.
Tinjauan yang terintegrasi dari segi lingkungan, teknologi, ekonomi dan sosial
budaya harus dilakukan untuk mendapatkan suatu strategi industri perkebunan
kelapa sawit di Indonesia yang berdaya saing tinggi dan berkelanjutan.
II. POTENSI KELAPA SAWIT INDONESIA
Luas
Areal perkebunan sawit di Indonesia terus meningkat dengan pesat, demikian pula
produksi dan ekspor minyak sawitnya. Luas areal tanaman kelapa sawit meningkat
dari 290 ribu Ha pada tahun 1980 menjadi 5.9 juta ha pada tahun 2006 atau
meningkat 20 kali lipat. Dalam kurun waktu yang sama, produksinya berupa CPO
(minyak kelapa sawit mentah) dan CPKO (minyak inti sawit mentah), meningkat 17
kali lipat dari 0,85 juta ton menjadi 14,4 juta ton (Suprayogo, 2011). Tahun 2012 berdasarkan data statistik
Ditjenbun Pertanian, bahwa total luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia
sekitar 9 juta Ha, produksi crude palm oil (CPO) mencapai 26 juta ton per
tahun dan pada tahun 2014 luas area telah mencapai 10,7 juta Ha (Tabel 1 dan 2).
Indonesia
saat ini produsen minyak sawit
(CPO) kedua terbesar. Pangsa
produksi minyak sawit Indonesia
saat ini kurang lebih sebesar 36 persen dari total produksi dunia, sedangkan Malaysia telah
mencapai kontribusi sebesar 47
persen. Sehingga secara
bersama-sama, Indonesia dan Malaysia praktis menguasai 83 persen produksi dunia.
Pengembangan komoditas ini telah dilakukan pada berbagai
lahan di Indonesia, baik tanah mineral maupun tanah gambut. Pengembangan kelapa
sawit pada lahan gambut di Indonesia telah mencapai lebih dari 1,7 juta ha dari
total luas lahan gambut Indonesia seluas 14,9 juta ha. (Tropenbos International
Indonesia, 2012; Ritung et al., 2011)
Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut tersebar utamanya di pulau Sumatera
sekitar 1,4 juta ha dan di Kalimantan sekitar 307 ribu ha.
Tabel 1. Luas areal kelapa sawit menurut
status pengusahaan tahun 2010-2017**) (Sardjono, 2017)
Tabel 2. Produksi minyak sawit menurut status
pengusahaan tahun 2010-2017**) (Sardjono,
2017)
Prospek pasar minyak
sawit diprediksikan masih akan sangat cerah, antara lain karena masih tingginya
permintaan dunia. Konsumsi dunia rata-rata tumbuh 8 persen per tahun, bahkan
beberapa tahun terakhir, jauh di atas kemampuan produksi sehingga harga dipastikan
akan terus meningkat. Berbeda dengan Malaysia, peluang Indonesia untuk
menggenjot produksi masih sangat besar, terutama dengan ketersediaan lahan,
kesesuaian iklim, ketersediaan tenaga kerja relatif murah yang melimpah, serta
biaya pembangunan dan perawatan per hektar yang juga lebih murah.
Pada awalnya, pelaku
usaha kelapa sawit terbatas pada perusahaan asing berskala besar dan
terintegrasi antara budidaya, pengolahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), dan
pemasaran hasilnya. Hal ini berlangsung hingga periode awal Republik. Sekitar
1958, beberapa perusahaan Belanda dinasionalisasikan dan diambil alih sebagai
Perusahaan Perkebunan Negara. Rakyat menjadi pelaku usaha perkebunan kelapa
sawit baru sekitar tahun 1980 dalam rangka program akselerasi pembangunan
perkebunan. Perkembangan kelapa sawit rakyat ini dapat dikatakan fenomenal.
Berawal pada tahun 1980, dalam sepuluh tahun pertama mencapai sekitar 300 ribu
Ha, sepuluh tahun berikutnya mencapai sejuta hektar lebih, dan kini telah
mencapai lebih dari 1,8 juta ha. Dari luas areal kelapa sawit rakyat ini,
disamping perkebunan plasma, sebagian besar adalah perkebunan swadaya yang
berinvestasi menggunakan dana sendiri atau pinjaman.
III. GLOBAL WARMING DAN FAKTANYA
Konsumsi energi merupakan kontributor terbesar dari
meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK), sedangkan sektor pertanian menyumbang
14 % dari GRK (Gambar 1). Peran Indonesia terhadap emisi GRK pada sektor
pertanian sangat kecil yaitu sekitar 1,35 % angka tersebut jauh di bawah
negara-negara lainnya yang memberikan kontribusi besar terhadap emisi GRK
seperti Cina, Amerika Serikat, Uni Eropa (EU-28), India, Rusia dan jepang
(Tabel 3). Pada tahun 2010 tercatat secara total, kontribusi Indonesia terhadap
emisi CO2 dunia hanya 1,3% (410 juta ton/tahun). Angka tersebut jauh
di bawah 10 kontributor utama emisi CO2 dunia yaitu China, Amerika
Serikat, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Kanada, Korea Selatan dan Inggris
(Total 65,49%; 30,27 milyar ton; masing-masing di atas 500 juta ton/tahun) (International
Energy Agency, 2012).
Gambar 1. Sumber emisi gas rumah kaca
dari berbagai sektor (Intergovernmental Panel on
Climate Change, 2001)
Gambar 1. Penghasil emisi gas rumah kaca
dari berbagai sektor (International Energy Agency,
2012)
Tabel 3. Negara penyumbang emisi gas
rumah kaca dari sektor pertanian (IEA, 2016)
IV. GAS RUMAH KACA (GRK) DI LAHAN GAMBUT UNTUK TANAMAN KELAPA
SAWIT
Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya
sekitar 8,5% terhadap total hutan yang ada di Indonesia (129 juta ha), dimana
sekitar 15% berada di lahan gambut. Areal perkebunan kelapa sawit di lahan
gambut tersebut sekitar 11% dari total 14,9 juta ha lahan gambut yang ada di
Indonesia (Sutarta et al., 2008). Berdasarkan
persentase luasan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang relatif kecil sangat
berlebihan jika dituduh berkontribusi besar terhadap global warming.
Emisi gas rumah kaca
(GRK) rata-rata di lahan gambut pada kurun waktu 30 tahun menurut Melling and
Henson (2009) sebesar 38 tCO2/ha/tahun; sementara menurut Hoijer et
al. (2006) adalah 54 tCO2/ha/tahun. Semakin meningkat umur
tanaman menunjukkan adanya kenaikan emisi CO2 (Gambar 2). Hal ini disebabkan
karena adanya faktor respirasi akar tanaman kelapa sawit, dimana besarannya
meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Hasil pengukuran emisi CO2
di bawah tegakan kelapa sawit berasal dari respirasi akar tanaman kelapa sawit
dan respirasi tanah (respirasi heterotropik oleh mikroorganisme tanah). Winarna
(2015) memperoleh kontribusi emisi CO2 dari respirasi akar adalah
sebesar 33%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya
yang memperoleh kisaran proporsi respirasi akar terhadap emisi CO2 adalah
sekitar 14 - 40 %. Agus et
al. (2010) memperoleh nilai kontribusi respirasi akar di bawah tegakan kelapa
sawit sekitar 38 %, sedangkan Dariah et al. (2013) memperoleh nilai
kontribusi respirasi akar yang lebih kecil yaitu sebesar 14 % pada tanaman umur
6 tahun. Sementara itu, Sabiham et al. (2014) memperoleh angka
kontribusi respirasi akar lebih tinggi pada tanaman umur 15 tahun yaitu sebesar
74 %. Emisi CO2 pada areal bukaan baru tercatat paling rendah karena
kontribusi dari respirasi akar tanaman sangat kecil.
Gambar 2. Emisi CO2
(ton/ha/tahun) pada beberapa penggunaan lahan gambut (IOPRI,
2009)
Tidak semua lahan gambut sesuai untuk kelapa sawit,
ada beberapa kriteria yang diperlukan sebagai syarat tumbuh kelapa sawit.
Sebelum mengusahakan gambut untuk kelapa sawit, tahap pertama yang perlu
dilakukan adalah identifikasi karakteristik lahan gambut yang meliputi ketebalan,
kematangan, dan tingkat kesuburan gambut. Perlu dicatat bahwa pengembangan
kelapa sawit hanya dilakukan pada lahan gambut yang sesuai berdasarkan hasil
evaluasi lahan. Pertimbangan lain dalam seleksi lahan untuk kelapa sawit adalah
dengan memprioritaskan pada lahan-lahan yang terdegradasi/terlantar.
V. ASPEK EKOFISIOLOGI TANAMAN KELAPA SAWIT
Perkebunan kelapa sawit secara netto merupakan
penyerap gas karbon dioksida (CO2), dengan serapan 64,5 ton CO2/ha/tahun.
Serapan ini bahkan lebih tinggi dibanding rain forest (hutan tropis)
yang hanya sebesar 42,4 ton/ha/tahun (Henson,
1999). Data
netto serapan CO2 ini relatif
sama dengan hasil penelitian Harahap et
al., (2008) seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Kaitannya dengan hilangnya
biomasa bagian atas (above ground biomass) saat hutan dikonversi ke kelapa sawit harus dilihat
secara lebih cermat. Setiap pengembangan pertanian akan menyebabkan terjadi
pengurangan above ground biomass, baik pada kelapa sawit,
kedelai, rape seed maupun tanaman penghasil minyak lainnya. Namun,
penanaman kelapa sawit dapat menggantikan above ground biomass lebih
cepat dan lebih besar dibandingkan kedelai atau rape seed (Brassica
napus), bahkan
potensi produksi biomassa kelapa sawit lebih besar dibandingkan hutan tropis.
Tabel 4.
Perbandingan respon ekofisiologi antara kebun kelapa sawit dan hutan tropis
(Harahap et al., 2008)
Tabel 5. Perbandingan ekologis tanaman
kelapa sawit dengan tanaman lainnya (Pasaribu, 2012; Mulyana, 2000)
Keterangan :*)
Setelah 5 tahun; **) Hutan alam 25 ton/ha
Hal ini terkait dengan kemampuan tegakan
untuk menyerap karbon dioksida (CO2) dan melepaskan oksigen (O2)
dalam proses fotosintesis. Semakin banyak CO2 yang diserap oleh
tumbuhan dan disimpan dalam bentuk biomassa karbon maka semakin besar pengaruh
buruk efek rumah kaca dapat dikendalikan (Samsoedin et al, 2009). Nilai karbon
tersimpan ditentukan dengan pengukuran biomassa pohon. Karbon tersimpan
merupakan 50% dari biomassa pohon yang diukur, sehingga cadangan karbon
berkorelasi positif dengan besarnya biomassa yang berarti semakin besar simpanan
biomassa maka cadangan karbon akan semakin tinggi
VI. KEBUTUHAN AIR TANAMAN KELAPA SAWIT
Air merupakan komponen utama makhluk
hidup, tidak terkecuali tanaman kelapa sawit. Air merupakan komponen utama
dalam proses fisiologis tanaman, aktivitas metabolisme (fotosintesis dan
respirasi), serta proses biokimia lainnya. Masing-masing tanaman memiliki
tingkat kebutuhan air yang berbeda-beda. Kebutuhan air tanaman pada dasarnya
adalah jumlah air yang dibutuhkan tanaman untuk menggantikan air yang hilang
melalui tanaman itu sendiri (transpirasi) dan bidang tanah di sekitarnya
(evaporasi). Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh iklim (radiasi surya, suhu,
kecepatan angin, dan kelembaban udara) dan tanah (sifat fisika tanah).
Hilangnya air akibat evaporasi dan transpirasi (yang selanjutnya disebut sebagai
evapotranspirasi) yang tidak diikuti dengan irigasi/curah hujan yang cukup maka
akan menyebabkan cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan tersebut dapat
mempengaruhi pertumbuhan anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia tanaman.
Gejala yang umum terjadi adalah pertumbuhan yang terhambat dan penurunan produksi
(Murdiyarso, 1991).
Curah hujan
merupakan faktor lingkungan (iklim) yang sangat penting karena menjadi sumber
air utama bagi pemenuhan kebutuhan air tanaman kelapa sawit. Berdasarkan hasil
penelitian, kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang optimal adalah 4,10 - 4,65
mm/hari (Hidayat et al., 2013). Memang dibandingkan tanaman perkebunan
lain, kelapa sawit memerlukan pasokan air yang lebih besar (Tabel 6). Akan
tetapi, kebutuhan air tersebut sebenarnya hampir sama dengan kebutuhan air
tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai.
Tabel 6. Kebutuhan air pada beberapa
tanaman (diolah dari Doonrebos and Pruitt, 1977 dalam PPKS)
Keterangan : *) dalam tiga musim
tanam
Secara sederhana, proses kehilangan dan penguapan air melalui
evapotranspirasi (ET) pada tanaman kelapa sawit digambarkan pada Gambar 3.
Proses ET terjadi pada bidang ET yang meliputi sistem tanaman dan tanah. Pada
tanaman kelapa sawit, bidang ET adalah tanaman itu sendiri dan bidang tanah
yang ternaungi oleh tanaman (piringan dengan ukuran jari-jari 250 cm).
Gambar 3. Skema sederhana neraca
air dalam tanaman kelapa sawit (PPKS)
Hampir selama 3-4 siklus tanam (75 tahun)
tanaman kelapa sawit telah ditanam di daerah-daerah sentra kelapa sawit seperti
di Sumatera Utara, namun sampai saat ini belum pernah terjadi kekeringan di
daerah-daerah tersebut. Selain itu, hasil penelitian pada tanaman kelapa sawit
berumur 15 tahun di Kalianta, Riau, menunjukkan bahwa fluktuasi muka air tanah
di perkebunan kelapa sawit dipengaruhi oleh curah hujan dan kondisi muka air
tanahnya cenderung konstan. Penurunan muka air tanah justru terjadi pada areal
pemukiman penduduk, serta areal terbuka dengan vegetasi yang kurang. Tanaman
kelapa sawit juga memiliki tajuk yang memiliki kemampuan menahan air hujan
(intersepsi) yang sama dengan tanaman hutan (21,23% dari total hujan yang
terjadi). Sementara itu, kemampuan tajuk kelapa sawit dewasa dalam menahan air
jauh lebih tinggi dibandingkan ekosistem tanaman pangan (Pasaribu et al.,
2012). Kemampuan intersepsi tersebut tentu dapat mengurangi kehilangan air
akibat laju limpasan permukaan (run-off) dan juga kerusakan struktur
tanah akibat erosi.
Penelitian
lain yang telah dilakukan Harahap (1997) di Gunung Tua, Sumatera Utara
diketahui bahwa tanah pada pertanaman kelapa sawit memiliki bobot isi/bulk
density (g/cm3) yang lebih kecil dibandingkan tanah bera (tanpa
tanaman). Pada perkebunan kelapa sawit, umumnya memiliki C-organik yang lebih
tinggi, persentase air tersedia, dan ruang pori tanah yang meningkat sehingga
dapat menyimpan air yang lebih banyak dibandingkan tanah bera.
Secara umum, produksi asimilat pada tanaman kelapa
sawit dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh (tanah dan iklim), populasi tanaman
dan varietas tanaman. Pada kondisi tanpa cekaman kekeringan (kondisi kebutuhan
air 4,1 - 4,65 mm/hari terpenuhi), Harahap dan Darmosarkoro (2000) menyatakan
bahwa tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta
melakukan fotosintesis dengan distribusi asimilat sebagai berikut :
Tabel 7. Distribusi asimilat pada organ
tanaman kelapa sawit (Harahap dan Darmosarkoro, 2000)
Tabel 8. Pembagian asimilat pada fase
perkembangan tandan dari fase kuncup hingga pengisian minyak tanaman kelapa
sawit (Pulungan et al., 1996)
Jadi dengan jumlah air
sebesar 4,1 – 4,65 mm/hari atau 1.476 – 1.674 mm/tahun tanaman kelapa sawit
dapat tumbuh optimal serta menghasilkan total biomassa 519,18 CH2O/pohon/tahun
yang terdistribusi untuk mendukung perkembangan organ vegetatif (pelepah,
batang, akar) dan generatif (TBS). Namun yang perlu dicatat adalah bahwa
kebutuhan air tersebut tidak semata-mata untuk memproduksi asimilat/berfotosintesis,
tetapi juga digunakan untuk perkembangan organ vegetatif, serta proses
fisiologis dan biokimia lainnya.
VII. KESIMPULAN
Perkembangan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia saat ini semakin pesat. Kelapa sawit (Elaeis guineensis)
merupakan salah satu komoditas utama tanaman perkebunan yang penting dalam
perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa negara (Ambiyah 2012).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) pengusahaan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yakni perkebunan besar swasta
(PBS) sebesar 51,86%, perkebunan rakyat (PR) sebesar 41,42%, dan perkebunan besar
negara (PBN) sebesar 6,72%. Luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia
selama 10 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan, yaitu 6,59 juta ha
pada tahun 2006 menjadi 11,44 juta ha pada tahun 2015 (Indonesian Palm Oil
Statistic, 2007; PASPI 2016).
Namun beberapa tahun terakhir ini industri
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menjadi sorotan negara-negara Uni
Eropa dan Amerika karena alasan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Maka
diperlukan kajian dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, untuk
memastikan sebagai industri yang ramah lingkungan sekaligus bisa meningkatkan
produktivitasnya.
Konsumsi energi merupakan kontributor terbesar dari
meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK), sedangkan sektor pertanian menyumbang
14 % dari GRK. Peran Indonesia terhadap emisi GRK pada sektor pertanian sangat
kecil yaitu sekitar 1,35 % angka tersebut jauh di bawah negara-negara lainnya
yang memberikan kontribusi besar terhadap emisi GRK seperti Cina, Amerika
Serikat, Uni Eropa (EU-28), India, Rusia dan jepang.
Emisi gas rumah kaca (GRK) rata-rata di lahan gambut
pada kurun waktu 30 tahun menurut Melling and Henson (2009) sebesar 38 tCO2/ha/tahun;
sementara menurut Hoijer et al. (2006) adalah 54 tCO2/ha/tahun.
Semakin meningkat umur tanaman menunjukkan adanya kenaikan emisi CO2.
Hal ini disebabkan karena adanya faktor respirasi akar tanaman kelapa sawit,
dimana besarannya meningkat dengan bertambahnya umur tanaman.
Perkebunan kelapa sawit secara netto merupakan
penyerap gas karbon dioksida (CO2), dengan serapan 64,5 ton CO2/ha/tahun.
Serapan ini bahkan lebih tinggi dibanding rain forest (hutan tropis)
yang hanya sebesar 42,4 ton/ha/tahun. penanaman kelapa sawit dapat menggantikan
above ground biomass lebih cepat dan lebih besar dibandingkan kedelai
atau rape seed, bahkan potensi produksi biomassa kelapa sawit lebih besar
dibandingkan hutan tropis.
Tanaman kelapa sawit
tidak rakus akan air seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Jika terjadi
curah hujan berlebih, kelebihan air akan tersimpan dalam tanah (melalui
infiltrasi dan perkolasi) dan sebagian lainnya menjadi runoff. Sementara
itu, jika mengalami kekurangan air, akar tanaman akan menyerap air dari dalam
tanah tetapi jumlah air yang diserap tidak secara signifikan menurunkan muka
air tanah. Oleh karena itu, dengan teknik konservasi tanah dan air yang tepat
dalam sistem manajemen kebun, seharusnya perkebunan kelapa sawit bukanlah
“penyedot air” tetapi akan menjadi “penabung air”. Perkebunan kelapa sawit
menabung air dan menjadi penggerak ekonomi.
Penelitian lain yang telah dilakukan
Harahap (1997) di Gunung Tua, Sumatera Utara diketahui bahwa tanah pada
pertanaman kelapa sawit memiliki bobot isi/bulk density (g/cm3)
yang lebih kecil dibandingkan tanah bera (tanpa tanaman). Pada perkebunan
kelapa sawit, umumnya memiliki C-organik yang lebih tinggi, persentase air
tersedia, dan ruang pori tanah yang meningkat sehingga dapat menyimpan air yang
lebih banyak dibandingkan tanah bera
DAFTAR PUSTAKA
Ambiyah
A. 2012. The Economic and Environmental Analysis
of Oil palm Expansion in Indonesia: Export Demand
Approach and EIRSAM Model. [Disertasi]. Nagoya
(JPN): Nagoya University.
[DIRJENBUN]
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik
Perkebunan Indonesi
Ditjenbun. 2014.
Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015. Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal
Perkebunan. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Doonrebos
J and W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements. FAO
Irrigation and Drainage Paper. Food and Agriculture Organization of United
Nation, Rome.
Erwin
Masrul Harahap, 1999. Perkembangan Akar Tanaman Kelapa Sawit pada Tanah
Terdegradasi di Sosa, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Institut Pertanian
Bogor. Thesis
Harahap,
I. Y. dan W. Darmosarkoro. 2000. Partisi Pertumbuhan Organ dan Produksi Bahan
Kering Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 8(2): 97-1006.
Hidayat,
T. C., I. Y. Harahap, Y. Pangaribuan, S. Rahutomo, W.A. Harsanto, dan W.R.
Fauzi. 2013. Air dan Kelapa Sawit. Seri kelapa Sawit Populer 12. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
Pasaribu,
H., A Mulyadi, dan S. Tarumun. 2012. Neraca air di perkebunan kelapa sawit di
PPKS Sub Unit Kalianta, Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 6 (2) : 99-113.
ISSN : 1978-5283.
[PASPI]
Oil palm Agribusiness Strategic Policy Institute.
2016. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit
Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Global. Bogor (ID).
Pulungan,
Z., I. Y. Harahap, dan A. R. Purba. 1996. Aspek Fenologis Daun di Dalam
Aktivitas Pertumbuhan dan Perkembangan Tandan Kelapa Sawit (Elaeis guineensi
Jacq.) Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 4. (2): 59-76.
Ritung S,
Wahyunto, Nugroho K, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto C. 2011.
Peta Lahan Gambut Indonesia
Skala 1:250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor (ID): Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Samsoedin,
I., I. W. S Dharmawan, A. Siregar. 2009. Potensi Biomassa Karbon Hutan Alam dan Hutan Bekas Tebangan Setelah 30
Tahun di Hutan Penelitian Malinau, Kalimantan Timur.Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam.Vol. IV No. 1. Hal 47-56.
Sardjono, M.
2017. Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit: Perspektif Lingkungan. Menteri
Pertanian Bidang Lingkungan.
Suprayogo. 2011. Kampanye Negatif Kelapa Sawit Indonesia, Potensi
Kelapa Sawit Indonesia. Warta Ekspor. Kementrian Perdagangan Republik
Indonesia. Jakarta.
Susila,
W. R. 2004. Contribution of Palm Oil Industry to Economic
Growth and Poverty Allevation in Indonesia.
Jurnal Litbang Pertanian. 23(3): 107-114.
Tropenbos
International Indonesia. 2012. Kajian Penggunaan Lahan Gambut di Indonesia.
Disampaikan pada seminar “Lahan
Gambut: Maslahat atau Mudharat”. 15 Maret 2012. Jakarta, Indonesia. Forum Wartawan
Pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar