PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI PADA TANAMAN
KACANG TANAH MELALUI TEKNIK BUDIDAYA
I. LATAR BELAKANG
Peluang
untuk meningkatkan produksi kacang tanah sangat besar baik pada lahan basah dan
dataran rendah. Hasil ekonomi tanaman terdiri dari fungsi tingkat pertumbuhan,
durasi pertumbuhan dan proporsi pertumbuhan yang diwujudkan dalam komponen
biji-bijian (Gallagher dan Biscoe, 1978). Laju pertumbuhan tergantung pada
kemampuan tanaman untuk menangkap cahaya dan efisiensi konversi radiasi yang diserap
menjadi biomassa. Kacang seperti tanaman lain tidak hanya membutuhkan air dan
nutrisi yang cukup tetapi juga radiasi matahari yang secara efektif dapat
meningkatkan hasil. Cahaya adalah salah satu faktor utama untuk pertumbuhan dan
produksi biomassa populasi tanaman dan berat kering.
Pertumbuhan tanaman
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti energi radiasi matahari. Energi
radiasi matahari berperan dalam proses fotosintesis tanaman untuk menghasilkan asimilat
yang digunakan dalam pembentukan bagian-bagian tanaman. Oleh karena itu, produksi
biomassa merupakan akumulasi dari radiasi matahari selama priode waktu
tertentu. Bobot kering tanaman tergantung pada jumlah radiasi yang diintersepsi
selama pertumbuhannya. Dalam pertanaman tingkat
intersepsi cahaya ditentukan oleh sebaran daun dalam
tajuk. Menurut Sitompul, (2016) radiasi matahari yang diintersepsi dalam tajuk
tanaman dapat ditaksir dari selisih antara radiasi yang sampai pada permukaan
atas tajuk tanaman dengan radiasi yang berpenetrasi hingga di bawah tajuk atau
permukaan tanah.
Efisiensi
konversi energi sangat tergantung pada faktor lingkungan dan kemampuan tanaman
untuk menerima intensitas radiasi matahari (Slattery dan Ort, 2015). Faktor
iklim yang mempengaruhi efisiensi konversi energi surya seperti garis lintang,
musim, awan dan konsentrasi CO2 di lingkungan tanaman, sedangkan
faktor tanaman adalah posisi dan susunan daun, indeks luas daun (LAI) dan jenis
pigmen daun (Monteith dan Unsworth, 2013). Efisiensi penangkapan cahaya juga
ditentukan oleh laju pertumbuhan tanaman dan penutupan kanopi daun. Pemilihan
varietas berkaitan erat dengan bentuk kanopi, laju pertumbuhan tanaman dan usia
tanaman menentukan kemampuan tanaman untuk menangkap dan menyerap intensitas
radiasi matahari (Zhu et al., 2008)
Efisiensi penggunaan radiasi surya
adalah nilai konversi radiasi surya menjadi energi kimia melalui proses
fotosintesis. Nilai ini menunjukkan persentase berapa banyak energi radiasi
yang diserap tanaman mampu diubah menjadi energi dalam bentuk kimia (Lawlor,
1993). Produksi berat kering berbagai tanaman rata-rata sekitar 1,4 g berat
kering per MJ radiasi surya yang diserap tanaman atau dengan kata lain
mempunyai nilai Efisiensi Konversi Energi (EKE 2,5) % (Jones, 1992).
Kebutuhan radiasi matahari berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman
berdasarkan hasil analisis Monteith (1997) dalam (Gardner et al., 2003). Kiniry et al., (1989) menyatakan bahwa nilai efesiensi
penggunaan radiasi matahari pada tanaman jagung sebesar 1,6 g MJ-1,
sorgum 1,3 g MJ-1, padi dan gandum sebesar 1,0 g MJ-1.
II. PENGGUNAAN
VARIETAS DALAM PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI
Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa
tingkat variabel penutupan kanopi selama pertumbuhan awal di antara varietas
kacang pada populasi tanaman yang berbeda mempengaruhi total akumulasi berat
kering (Jaaffar dan Gardner, 1988). Struktur kanopi dapat memengaruhi respons
kacang terhadap populasi tanaman dalam hal intersepsi radiasi matahari dan
pertumbuhan tanaman (Willey dan Heath, 1969). Efisiensi konversi ini juga
berbeda di antara varietas tanaman (Thiebeau et al., 2011). Efisiensi konversi adalah salah satu parameter utama
yang diterapkan dalam banyak simulasi model pertumbuhan tanaman terhadap
analisis produksi tanaman (Idinoba et
al., 2002). Semakin banyak energi cahaya matahari yang
dikonversi dalam proses fotosintesis menjadi fotosintat, maka bobot kering
tanaman atau biomasa akan semakin banyak pula. Hal ini menunjukan hubungan luas
daun dan indeks luas daun dengan produksi biomasa tanaman terjalin melalui
proses fotosintesis.
Hasil
penelitian Suprapto et al., (2012) terhadap
efisiensi
intersepsi radiasi (IE) selama pertumbuhan varietas Kelinci (tipe
Valensia)
dan Kancil (tipe Spanyol) yang ditanam pada musim
panas
(Gambar 1) menunjukkan bahwa kedua varietas memiliki kemiripan dengan IE
radiasi matahari pada awal tanaman hingga 100 hari setelah tanam (DAP), IE
radiasi matahari varietas Kancil (95,68%) sedikit lebih tinggi dari Kelinci
(95,06%). Nilai IE untuk kedua tanaman setelah 27 DAP menurun hingga umur 32
DAP (10,45-15,93%), kemudian meningkat hingga umur 71 DAP (95,06-95,68%)
(Gambar 2a). Model yang digunakan memprediksi IE untuk setiap hari adalah y =
0,08x2-0.148x + 0,34 dengan R² = 0,939 (Kelinci), y = 0,069x2 - 0,136x + 0,408,
R² = 0,977 (Kancil). Efisiensi intersepsi (IE) meningkat pada semua varietas
sejak awal ditanam. Radiasi matahari ini diperlukan oleh tanaman untuk pembentukan
biomassa. Hasil serupa telah dilaporkan oleh Collino et al., (2001) bahwa nilai EI pada awal pertumbuhan rendah dan
semakin bertambah sampai panen.
Gambar 1.
Efisiensi intersepsi radiasi (IE) selama pertumbuhan varietas Kelinci dan
Kancil (Suprapto
et al., 2012).
Sedangkan efisiensi konversi energi radiasi (CE)
pada dua varietas kacang tanah yaitu Kelinci (tipe Valensia) dan Kancil (tipe
Spanyol) yang ditanam pada musim panas. Nilai rata-rata CE selama pertumbuhan awal tanaman
hingga panen (100 hari setelah tanam/ DAP) menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara varietas
Kelinci dan Kancil dengan nilai 1,52 % dan 1,41 % (Gambar 2). Berbagai nilai
telah dilaporkan untuk CE pada tanaman mulai dari 0,73 % hingga 2 % (Gibbon et al., 1970; Coulson, 1985). Persamaan
model memprediksi bahwa CE sangat berkorelasi, y = 4.948x2-15.40x + 15.28, R² =
0.990 (Kelinci), y = 4.447x2- 13.36x + 14.39, R² = 0.997 (Kancil). Efisiensi konversi
energi radiasi (CE) ke total produksi bahan kering pada varietas Kelinci (1,52 %)
menunjukkan persentase yang sedikit lebih tinggi daripada varietas Kancil (1,41
%).
Berdasarkan hasil penelitian ini, diindikasikan
bahwa varietas Kelinci memiliki CE yang lebih baik. Penelitian lain oleh Zhang et al., (2008) menunjukkan bahwa radiasi
aktif fotosintesis yang diserap melalui tanaman tergantung pada LAI dan luas
daun kanopi. Salah satu parameter utama yang diterapkan dalam banyak simulasi model
pertumbuhan tanaman adalah CE untuk menganalisis produksi (Idinoba et al., 2002). CE kacang tanah yang lebih rendah dapat dijelaskan
sebagian karena pada kacang cadangan yang terakumulasi di pangkal daun harus
ditranslokasi ulang ke polong. nilai CE untuk kacang tanah lebih rendah
daripada banyak tanaman biji-bijian yang lain, karena produksi polong kacang
membutuhkan lebih banyak energi daripada produksi organ vegetatif (Yeates et al., 2010).
Gambar 2.
Efisiensi konversi energi radiasi (CE) selama pertumbuhan varietas Kelinci dan
Kancil (Suprapto
et al., 2012).
Pada penelitian Collino et al., (2001) terhadap
Intersepsi
cahaya dan efisiensi penggunaan radiasi (RUE) pada dua varietas kacang yaitu Manfredi 393
INTA dan Florman INTA yang ditanam pada dua pengaturan air yaitu IRR (irigasi diberikan
selama periode tanam) dan WS (irigasi ditahan pada periode 47 hingga 113 hari
setelah tanam). Nilai RUE
berbeda antara genotipe di bawah pengaturan air IRR (Gambar 3), sesuai dengan
laporan oleh Chapman et al. (1993),
tetapi berbeda dengan Bennett et al.,
(1993) yang melaporkan tidak ada perbedaan di antara varietas. Efisiensi penggunaan
radiasi (RUE) yang dinyatakan sebagai kemiringan dari regresi
linier adalah 3.59 ± 0.08 dan 3.17 ± 0.10 g MJ-1 masing-masing untuk
Manfredi 393 INTA dan Florman INTA. Nilai RUE ini dikaitkan secara negatif dengan
koefisien k, yang nilainya 0.63 ± 0.06
untuk Manfredi 393 INTA dan 0.85 ± 0.07 untuk Florman INTA. Hubungan negatif
ini sesuai dengan temuan Bell et al.
(1993), yang menetapkan bahwa varietas Virginia dengan kelebihan luas daun yang
besar, memiliki nilai koefisien k
yang lebih tinggi daripada daun tanaman tegak, dan karenanya distribusi cahaya
yang buruk dalam kanopi.
Dalam penelitian ini, estimasi RUE (kemiringan dari regresi
linier) menggunakan rasio 1,45 g MJ-1 untuk periode 0-113 hari
setelah tanam (DAS), dan sama untuk kedua varietas. Nilai RUE yang lebih tinggi
secara signifikan ditemukan untuk Manfredi 393 INTA mengingat pembentukan
kandungan energi untuk biomassa tidak dinyatakan ketika koreksi tersebut tidak
digunakan karena Manfredi 393 INTA mempartisi proporsi biomassa yang lebih
besar untuk polong, berat polong mencapai 20 % lebih banyak daripada Florman
INTA pada 113 DAS (Collino et al.,
2000).
Di bawah pengaturan air WS, rasio antara
biomasa total terkoreksi (TBc) terhadap radiasi aktif fotosintesis (PARi)
cukup sesuai dengan model eksponensial dua-parameter (Gambar 3), yang
menunjukkan bahwa RUE menurun secara bertahap ketika stres air meningkat,
sesuai dengan Azam Ali et al.,
(1989). Namun, berdasarkan interval kepercayaan 95 % (tidak ditampilkan) dari
kurva yang dipasang (Gambar 3), tidak ada perbedaan dalam RUE antara pengaturan
air IRR dan WS yang diamati sampai 200 MJ PARi tercapai. Nilai PARi
ini dicapai pada 84 DAS oleh kedua varietas di bawah aturan WS. Setelah 84 DAS
RUE sangat dipengaruhi oleh stres air, meskipun dengan intensitas yang berbeda
untuk masing-masing varietas. Rata-rata RUE selama periode 84-113 DAS lebih
tinggi di Manfredi 393 INTA (1.66 ± 0.25 g MJ-1) daripada di Florman
INTA (1.14 ± 0.19 g MJ-1). Nilai RUE ini adalah 54 dan 64% lebih
rendah daripada yang diamati dalam kondisi air yang baik. Perilaku yang berbeda
antara varietas di bawah defisit air juga tercermin dalam parameter b dari model eksponensial dua-parameter
(Gambar 3), yang secara signifikan lebih rendah di Manfredi 393 INTA daripada
di Florman INTA dengan 0.0037 ± 0.0004 dan 0.0051 ± 0.0008, masing-masing,
menyatakan bahwa RUE Florman INTA menurun lebih cepat daripada Manfredi 393
INTA dari waktu ke waktu. Matthews et al.,
(1988) menemukan perbedaan RUE antar varietas pada awal pengisian polong,
sementara Chapman et al., (1993)
menemukan perbedaan antar genotip pada periode 50 hari yang dikenakan defisit
air.
Dalam penelitian ini, perbedaan RUE setelah 200 MJ
PARi tercapai, tampaknya dikaitkan dengan perbedaan dalam
fotosintesis daun. Pengukuran mingguan nilai tukar karbon dioksida (CER) daun
muda yang diambil dalam uji coba pelengkap untuk mendukung kesimpulan ini.
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, setelah 113 DAS, Florman INTA mulai
mengurangi CER-nya, sedangkan di Manfredi 393 INTA, pengurangan tersebut
dimulai 1 minggu kemudian. Ketika stres air meningkat, perbedaan CER antara pengaturan
air WS dan IRR juga meningkat. Dalam percobaan ini, Manfredi 393 INTA
menunjukkan lebih toleransi terhadap kekeringan melalui kombinasi proporsi yang
lebih rendah dan durasi pengurangan CER. Perbedaan CER antara pengaturan air
dan varietas sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Nautiyal et al., (1995) yang menemukan, di bawah kondisi
lapangan, penurunan yang signifikan dalam laju fotosintesis bersih di bawah stres
air dan penurunan yang lebih tinggi terjadi pada kultivar yang sensitif
terhadap kekeringan.
Gambar 3.
Hubungan antara biomasa total terkoreksi (TBc) dan radiasi aktif
fotosintesis (PAR) yang digunakan untuk memperkirakan RUE bagi varietas Florman
INTA dan Manfredi 393 INTA, yang tumbuh pada pengaturan air IRR dan WS (Collino
et al., 2001).
Gambar. 4. Nilai
tukar karbon dioksida (CER) bagi varietas Florman INTA dan Manfredi 393 INTA,
yang tumbuh diantara pengaturan air IRR dan WS (Collino et al., 2001).
III.
KEPADATAN POPULASI TANAMAN DALAM PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI
Dalam upaya meningkatkan
efesiensi radiasi pada tanaman dapat ditempuh dengan cara pengaturan populasi
dan arah baris tanaman. Arah baris tanam dan kerapatan populasi tanaman
mempengaruhi besarnya energi matahari yang diterima. Menurut Sugito, (2012) peningkatan
efesiensi energi radiasi dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan tingkat populasi
tanaman, pengaturan sistem bertanam dan pemilihan tipe daun tegak. Jarak tanam
yang lebar memberikan hasil fotosintat lebih besar dibandingkan dengan jarak
tanam yang lebih rapat. Fotosintesis akan memproduksi asimilat yang
diakumulasikan dalam bentuk bahan kering tanaman (Gardner et al., 2003). Oleh karena itu, Produksi bahan bobot kering total
tanaman memiliki hubungan yang positif dengan laju fotosintesis tanaman.
Semakin tinggi laju fotosintesis, maka asimilat yang dihasilkan juga semakin
tinggi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan bobot kering total tanaman.
Hasil penelitian
Suprapto et al., (2012) terhadap efisiensi intersepsi radiasi
(IE) pada perbedaan kepadatan populasi tanaman (PPD) yaitu
44,4, 25,0,
16,0, 11,1 dan 8,1 tanaman m-2 kacang tanah pada musim panas.
Perbedaan PPD dipengaruhi pada umur 32 hari setelah tanam (DAP) sampai panen.
Populasi tanaman dengan kepadatan tinggi (44,4 tanaman m-2)
meningkatkan IE radiasi matahari menjadi 98,23 % (Gambar 5). Kombinasi antara
varietas dan populasi tanaman tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada
IE dari radiasi matahari. Model yang digunakan memprediksi IE untuk setiap hari
adalah y = 0,087x2-0,116x + 0.586, R² = 0,929 (J1), y = 0,080x2-0,099x + 0,434,
R² = 0,948 (J2), y = 0,098x2-0,291x + 0,472, R² = 0,994 (J3), y = 0,057x2-0.104
x + 0,208, R² = 0,948 (J4) dan y = 0,05x2-0,116x + 0,194, R² = 0,964 (J5). Efisiensi
intersepsi (IE) kepadatan populasi pada 25,0 m-2 dan 44,4 tanaman m-2
menangkap lebih banyak radiasi dari populasi 11,1 atau 16,0 tanaman m-2.
Sedangkan efisiensi konversi energi radiasi (CE)
pada perbedaan kepadatan populasi tanaman yaitu 44,4, 25,0, 16,0, 11,1
dan 8,1 tanaman m-2
kacang
tanah yang ditanam pada musim panas, Perlakuan
populasi tanaman yang berbeda pada awal pertumbuhan hingga panen (100 hari setelah
tanam/ DAP) menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Populasi tanaman dengan kepadatan yang semakin
tinggi (44,4 tanaman m-2) meningkatkan nilai rata-rata CE (Gambar
6). Persamaan model memprediksi bahwa CE sangat berkorelasi, y = 2.175x2-5.440
x + 6.988, R² = 0.992 (J1), y = 3.770x2-10.10x + 11.46, R² = 0.995 (J2), y =
5.792x2-19.86x + 20.30, R² = 0.990 (J3), y = 5.597x2- 16.89x + 16.45, R² =
0.990 (J4) dan y = 6.153x2-19.62x + 18.98, R² = 0.993 (J5).
Gambar 5.
Efisiensi intersepsi radiasi (IE) pada perbedaan kepadatan populasi tanaman
dari 8.1 (J5), 11.1 (J4), 16.0 (J3), 25.0 (J2) dan 44.4 tanaman m-2 (J1) pada kacang tanah (Suprapto et al., 2012).
Gambar 6. Efisiensi konversi energi
radiasi (CE) pada perbedaan kepadatan populasi tanaman dari 8.1 (J5), 11.1 (J4),
16.0 (J3), 25.0 (J2) dan 44.4 tanaman m-2
(J1) pada kacang tanah (Suprapto et al.,
2012).
Variasi
kombinasi dan kepadatan populasi tanaman pada awal pertumbuhan menunjukkan
perbedaan yang signifikan pada Nilai CE. Nilai CE pada tahap awal adalah
sekitar 0,14-0,63% kemudian secara bertahap meningkat hingga dipanen sebesar
0,83-2,08%. Nilai
CE terendah di semua populasi tanaman selama pertumbuhan awal dan meningkat
secara linear dengan cepat.
IV.
TUMPANG SARI DALAM PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI
Radiasi berlimpah yang tersedia di
daerah tropis dan subtropis memberikan peluang besar meningkatkan penggunaannya
untuk produksi tanaman yang lebih baik. Penggunaan radiasi matahari yang efisien adalah
salah satu kriteria utama untuk mendapatkan keuntungan hasil melalui
tumpangsari. Para petani tidak hanya membutuhkan peningkatan
produksi, tetapi juga kemampuan untuk menanam banyak tanaman di lahan-lahan
sempit. Tumpangsari adalah salah satu ide berkelanjutan yang dapat sangat
meningkatkan penggunaan radiasi matahari. Energi surya tambahan yang digunakan
oleh kanopi tumpang sari mengarah ke peningkatan produksi tanaman, dan dengan
demikian menghasilkan ekonomi yang lebih besar. Selama tiga dekade terakhir,
banyak penelitian tentang penggunaan radiasi dalam sistem tumpangsari dan
lorong untuk berbagai kombinasi tanaman (Keating dan Carberry, 1993; Black dan
Ong, 2000).
Hasil penelitian Awal et al., (2006) terhadap efisiensi penggunaan radiasi (ɛ) dari sistem tanam tumpang sari
jagung/ kacang tanah pada tiga perlakuan yaitu
tanaman
tunggal jagung dan kacang tanah, dan tumpang sari jagung/ kacang tanah menunjukkan
bahwa koefisien pemadaman cahaya kanopi (k)
dari kacang tanah berkurang saat ditumpangsarikan dengan jagung. Nilai
rata-rata kacang tanah tumpangsari (2,13 g (DW) MJ-1) adalah 79 %
lebih tinggi daripada kacang tanah yang tumbuh sendiri. Nilai efisiensi
penggunaan radiasi (ɛ) dari tegakan
tumpangsari gabungan (3,03 g (DW) MJ-1) lebih dari dua kali lipat kacang
tanah tunggal, tetapi sedikit lebih rendah dari tegakan jagung saja (3,27 g
(DW) MJ-1). Indeks panen (HI) kacang tanah tumpangsari sekitar 13 %
lebih rendah dari kacang tanah yang ditanam tunggal, tetapi menghasilkan 46 %
dari polong yang terakhir (299 g m-2), parameter yang mewakili output sebenarnya dari
sistem tumpangsari. Hasil ini menunjukkan bahwa tumpangsari jagung/ kacang akan
membantu meningkatkan produksi melalui pemanfaatan energi surya secara efisien.
Perkembangan nilai koefisien pemadaman cahaya (k)
selama satu musim ditunjukkan pada Gambar 7. Kanopi semua perlakuan awalnya
memiliki koefisien pemadaman cahaya yang rendah, diikuti oleh nilai yang
lebih tinggi pada tahap berikutnya. Pada semua tahap pertumbuhan, kanopi
tanaman tunggal dan tanaman tumpang sari jagung memiliki nilai k sama dan stabil yang lebih rendah
daripada tanaman tunggal dan tanaman tumpang sari kacang tanah, kecuali untuk
pengukuran dua tahap pertama.
Tegakan
tumpangsari kacang memiliki nilai k
yang lebih rendah daripada kanopi tanaman tunggal pada saat periode tumpangsari
yang paling efektif. Nilai k untuk
tumpang sari kacang menunjukkan standar deviasi yang lebih besar daripada
kanopi lainnya. Nilai rata-rata musiman k
disajikan pada Tabel 1. Kanopi jagung tunggal dan tumpangsari menunjukkan nilai
k yang serupa. Sebaliknya, nilai k tumpangsari kacang tanah adalah
sekitar 17 % lebih rendah dari kacang tanah tunggal, dengan variabilitas yang
lebih besar daripada kanopi lainnya.
Gambar 7. Koefisien pemadaman cahaya
(k) selama satu musim (Awal et al., 2006).
Tabel 1. Rata-rata koefisien pemadaman cahaya
musiman (k) dari kanopi di bawah sistem tanam yang berbeda (Awal et al., 2006)
Pada
semua jenis tanaman, perkembangan awal koefisien pemadaman cahaya (k) yang lebih tinggi menunjukkan
proyeksi cepat dari elemen kanopi ke permukaan horizontal untuk menjebak jumlah
maksimum radiasi setelah pembentukan bibit. k
yang lebih tinggi baik dari kacang tanah tunggal maupun tumpangsari
dibandingkan dengan tegakan jagung dapat dijelaskan bahwa kanopi kacang membesar
lebih lambat daripada jagung (Black dan Ong, 2000).
Tabel 2. Efisiensi penggunaan radiasi, ɛ (g (DW) MJ-1), untuk sistem
tanam yang berbeda (Awal et al.,
2006)
Pada
jagung tunggal sepanjang musim, nilai efisiensi penggunaan radiasi (ɛ) tidak pernah turun di bawah 2 g (DW)
MJ-1, kecuali selama seminggu sebelum panen akhir, ketika ɛ menjadi negatif (Tabel 2). ɛ maksimal dari 19 Juni hingga 6 Juli, sebesar
5,81 g (DW) MJ-1. Nilai tengah musiman ɛ juga memiliki nilai lebih tinggi, sebesar 3,27 g (DW) MJ-1.
Baik perubahan musiman maupun rata-rata jagung tumpangsari sangat mirip dengan
tegakan tanaman tunggal. Awalnya, ɛ
kacang tanah agak lebih rendah, tetapi segera mencapai maksimum pada 6 Juli, sebesar
3,42 g (DW) MJ-1.
Setelah itu, ɛ secara bertahap menurun hingga 26
Agustus, diikuti oleh peningkatan selama tahap pengisian polong berikutnya.
Perubahan musiman pada ɛ kacang tanah
tumpangsari mengikuti pola yang sangat mirip dengan tegakan tanaman tunggal. ɛ kacang tumpang sari sepanjang musim
sekitar 79% lebih tinggi dari pada tanaman tunggal. ɛ untuk tumpang sari gabungan berubah secara terus menerus selama
tahap pertumbuhan. Namun, rata-rata musiman ɛ
dari tanaman sela gabungan 7 % lebih rendah dari jagung, tetapi dua kali lipat
lebih tinggi dari kacang tanah tunggal.
V.
KANDUNGAN NITROGEN DALAM PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI
Efisiensi
penggunaan radiasi tanaman (RUE, g MJ-l) adalah jumlah biomassa yang
terakumulasi untuk setiap unit radiasi matahari total yang diserap oleh kanopi
daun. Ini sering digunakan dalam menghitung akumulasi biomassa tanaman. Pada kacang (Arachis hypogaea L.), seperti pada spesies lain, efisiensi penggunaan
radiasi (RUE) bervariasi
dengan status nitrogen daun (Sinclair et
al., 1993; Wright et al., 1993).
Sinclair et al., (1993) memperoleh
respons teoretis RUE terhadap nitrogen daun spesifik (SLN, gNm-2
luas daun) dalam kacang tanah dengan mengkuantifikasi respons lengkung dari
nilai tukar karbon dioksida daun ke SLN dan mengganti respons ini ke dalam
kerangka umum untuk menghitung RUE tanaman ditetapkan oleh Sinclair dan Horie
(1989). Mereka menunjukkan bahwa RUE meningkat secara lengkung dengan SLN
sehingga pada SLN tinggi, RUE tinggi, tetapi sedikit meningkat sebagai respons
terhadap peningkatan lebih lanjut dalam SLN. Pada SLN rendah, RUE rendah,
tetapi diperkirakan akan meningkat dengan cepat seiring dengan peningkatan SLN.
Kandungan
N tanaman memiliki pengaruh besar pada produktivitas tanaman. Nilai tukar
karbon dioksida (CER) sangat sensitif terhadap kadar N dalam daun. Sinclair dan
Horie (1989) meninjau data fotosintesis dari daun kedelai (Glycine max L. Merr.), Padi (Oryza
sativa L.), dan jagung (Zea mays
L.), dan menyimpulkan bahwa banyak perbedaan dalam CER daun pada suatu spesies
dikaitkan dengan N daun yang diekspresikan berdasarkan satuan luas daun.
Sebagai konsekuensi dari hubungan yang erat ini, Sinclair dan Horie berpendapat
bahwa efisiensi penggunaan radiasi kanopi (RUE, g biomassa yang terakumulasi
per MJ total radiasi matahari yang diserap) juga terkait erat dengan N daun.
Hasil penelitian Sinclair et al., (1993) korelasi antara kandungan nitrogen daun spesifik
(SLN, gNm-2 luas daun) terhadap tingkat pertukaran karbon daun
(CER), dan efisiensi penggunaan radiasi (RUE) pada empat kultivar kacang tanah
menunjukkan bahwa analisis
akumulasi biomassa dan intersepsi cahaya kumulatif memberikan nilai stabil
untuk RUE sebesar 1,00 g Mr-1 (s.e. = 0,01, r2 = 0,99) sepanjang
musim di antara empat kultivar. Stabilitas ini dalam RUE konsisten dengan
stabilitas yang diamati dalam tingkat pertukaran karbon daun (CER) sepanjang
sebagian besar musim (Gambar 8a) dan ketetapan pada nitrogen daun spesifik (SLN)
untuk daun yang terpapar digunakan dalam pengukuran CER (Gambar 8b).
Nilai
SLN untuk semua daun yang diperoleh dari 3 sampel tanaman (Gambar 8c) juga
menunjukkan sedikit variasi di antara kultivar dan sepanjang musim, kecuali
untuk awal musim ketika semua daun baru diperluas. Nilai rata-rata SLN untuk
semua daun pada tanaman dari keempat kultivar setelah hari ke 35 adalah 1,37 g Nm-2 (s.e, = 0,01). Nilai
ini secara substansial kurang dari SLN yang diperoleh untuk daun yang terpapar digunakan
dalam pengukuran CER (2,12 g N m-2).
Gambar 8. Pola musiman empat kultivar
kacang tanah yang ditanam di bawah kondisi lapangan dalam (A) nilai tukar
karbon daun muda, (B) nitrogen daun per satuan luas daun yang digunakan dalam
pengukuran CER, dan (C) rata-rata nitrogen daun per satuan luas semua daun kanopi
(Sinclair
et
al., 1993).
Sinclair
dan Horie (1989) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan radiasi (RUE) terkait
dengan tingkat CER daun, yang pada dasarnya tergantung dengan SLN. Perhitungan RUE
yang diusulkan oleh Sinclair dan Horie (1989), kurva respons teoretis
dihasilkan untuk RUE kacang sebagai fungsi SLN (Gambar 9). RUE yang diamati sebesar
1,00 g Mj-1 diplot sebagai fungsi baik dari rata-rata SLN untuk
semua daun (1,37 gNm-2) dan hanya daun terpapar yang diukur CER
(2,12 gNm-2). RUE yang diamati adalah 29 % lebih besar dari RUE yang
diharapkan secara teoritis (0,78 g Mj-1) berdasarkan rata-rata SLN
untuk semua daun, tetapi 7% lebih rendah dari RUE yang diharapkan secara
teoritis (1,08 g Mr-1) berdasarkan rata-rata SLN untuk daun yang
terpapar.
Gambar 9. Efisiensi penggunaan
radiasi (RUE) diplot sebagai fungsi nitrogen daun per satuan luas. RUE
yang diamati diplotkan terhadap kandungan nitrogen daun yang diukur untuk semua
daun kanopi dan hanya untuk daun yang terpapar digunakan dalam pengukuran CER (Sinclair et al., 1993).
Dari
hubungan antara CER dan SLN, Sinclair dan Horie (1989) menunjukkan bahwa
efisiensi penggunaan radiasi (RUE) tanaman terkait erat dengan nitrogen daun spesifik
(SLN). Stabilitas RUE sepanjang musim untuk empat kultivar kacang tanah
konsisten dengan stabilitas yang diamati pada SLN kanopi sepanjang musim.
Pada penelitian Hammer dan Wright, (1994) hubungan
nitrogen daun spesifik kanopi (SLN) terhadap efesiensi penggunaan radiasi
(RUE), tingkat radiasi dan proposi radiasi difuse (radiasi hambur) pada kacang
tanah menunjukkan bahwa nilai efisiensi penggunaan radiasi (RUE) untuk
berbagai kombinasi rata-rata nitrogen daun spesifik (SLNav), dan tingkat
transmisi atmosfer (RATIO), diperkirakan dengan asumsi tidak ada gradien SLN di
kanopi daun (i.e. SLNgrad = O), tetapi radiasi insiden dipartisi
menjadi komponen langsung dan difuse (hambur) seperti yang ditetapkan dalam
kerangka teori.
Menambahkan
partisi radiasi ke dalam komponen langsung dan difuse menghasilkan peningkatan
RUE dari 0,06 menjadi 0,15 g MJ-l (Gambar 10). Tingkat peningkatan
paling rendah pada RASIO tinggi dan terbesar pada RASIO rendah. Dinyatakan
sebagai persentase, perubahan RUE berhubungan dengan peningkatan 7 hingga 23 %.
Persentase kenaikan yang lebih rendah diprediksi pada hari yang cerah (RATIO =
0,75) dengan SLNav tinggi. Peningkatan persentase yang lebih tinggi
terjadi pada hari berawan (RATIO = 0,35) pada SLNav yang relatif
rendah.
Gambar 10. Respon yang diprediksi dari
efisiensi penggunaan radiasi (RUE) terhadap rata-rata nitrogen daun spesifik kanopi
(SLNav) untuk tiga tingkat kepadatan fluks radiasi yang terkait
dengan tiga tingkat transmisi atmosfer (RATIO). Dengan asumsi tidak ada gradien
kanopi di SLN dan radiasi insiden dipartisi menjadi komponen langsung dan difuse
(garis penuh) (Hammer
dan Wright, 1994).
Peningkatan
RUE yang dihasilkan dari partisi radiasi menjadi komponen langsung dan difuse
disebabkan oleh komponen difuse yang tersebar di area yang diterangi matahari
dan daun peneduh. Dengan tidak adanya pertimbangan komponen difuse, daun
naungan hanya menerima radiasi yang tersebar dari daun yang diterangi matahari.
Pengenalan komponen difuse mengurangi kepadatan fluks radiasi pada daun yang
diterangi matahari tetapi meningkatkannya pada daun yang teduh. Peningkatan
efisiensi kanopi dihasilkan dari keseimbangan perubahan efisiensi sinar
matahari dan daun peneduh. Ada sedikit perubahan dalam efisiensi daun peneduh
karena mereka beroperasi pada tingkat radiasi rendah, tetapi efisiensi daun yang
diterangi matahari meningkat dengan berkurangnya insiden kepadatan fluks
radiasi. Karenanya, efisiensi kanopi meningkat.
Keseimbangan
perubahan efisiensi daun yang diterangi matahari dan ternaungi juga menjelaskan
pengaruh yang lebih besar pada RUE dengan transmisi atmosfer (RATIO) rendah
ketika komponen difuse diperkenalkan (Gambar 10). Pada RASIO rendah, insiden
radiasi rendah dan akibatnya, ada pengaruh yang lebih besar pada efisiensi daun
yang diterangi matahari. Penurunan RASIO berdampak hanya pada komponen radiasi
langsung, sehingga peningkatan RUE yang lebih besar pada RASIO rendah dapat
dikaitkan dengan proporsi radiasi difuse (hambur) seperti yang dilaporkan oleh
Sinclair et al., (1992). Namun,
penting untuk disadari bahwa proporsi yang tinggi dari radiasi difuse hanya
dapat terjadi pada RASIO rendah dan bahwa sebagian besar peningkatan RUE dalam
kondisi seperti itu disebabkan langsung oleh pengaruh RASIO.
DAFTAR PUSTAKA
Awal, M.A., Koshi, H. And Ikeda, T.
2006. Radiation
interception and use by maize/peanut intercrop canopy. Agricultural and Forest Meteorology 139, 74-83.
Azam Ali, S.N.,
Simmonds, L.P., Nageswara Rao, R.C. and Williams, J.H. 1989. Population,
growth and water use of groundnut maintained on stored water. III. Dry matter, water
use and light interception. Expl. Agric. 25, 77-86.
Bell, M.J.,
Wright, G.C. and Harch, G.R. 1993. Environmental and agronomic effect on the
growth of four peanut cultivars in a sub-tropical environment. I. Dry matter
accumulation and radiation use efficiency. Expl.
Agric. 29, 473-490
Bennett,
J.M., Sinclair, T.R., Ma, L. and Boote, K.J. 1993. Single leaf carbon exchange and canopy radiation use efficiency of four peanut cultivars. Peanut Sci. 20,
1-5.
Black,
C. and Ong, C. 2000. Utilization of light and water in tropical agriculture.
Agric. For. Meteorol. 104, 25-47.
Chapman, S.C.,
Ludlow, M.M., Blamey, F.P.C. and Fischer, K.S. 1993. Effect
of drought during early reproductive development on growth of cultivars of
groundnut (Arachis hypogaea L.). I. Utilization of radiation and water during drought. Field Crop. Res. 32,
193-210.
Collino, D.J.,
Dardanelli, J.L., Sereno, R. and Racca, R.W. 2000. Physiological responses of argentine peanut varieties to water stress. Water uptake and water use efficiency. Field Crop. Res. 68, 133-142.
Collino, D.J.,
Dardanelli, J.L., Sereno, R. and Racca, R.W. 2001. Physiological responses of argentine peanut varieties to water stress. Light interception, radiation use efficiency and partitioning of
assimilates. Field Crop. Res. 70, 177-184.
Coulson, C.L. 1985. Radiant energy
conversion in three cultivars of Phaseolus vulgaris. Agric Forest Meteorol. 35, 21-29.
Evans,
J.R. 1989. Photosynthesis and nitrogen relationships in leaves of C3 plants. Oecol.
78, 9-19.
Gallagher,
J.N. and Biscoe, P.V. 1978. Radiation absorption, growth and yield of cereals. J.
Agric. Sci. Camb, 19, 47-60.
Gibbon, D.R., Holliday, F., Mattei. and
G, Luppi. 1970. Crop production potential and energy conversion efficiency in
different environments. Exp Agric. 6,
197-204.
Hammer,
G.L. and Wright, G.C. 1994. A
Theoretical Analysis of Nitrogen and Radiation Effects on Radiation Use Efficiency in Peanut. Aust. J. Agric. Res., 45, 575-89
Hirose,
T. and Werger, M.J.A. 1987. Maximizing daily canopy photosynthesis with respect
to the leaf nitrogen allocation pattern in the canopy. Oecologia 72, 520-526.
Idinoba,
M.E., Idinoba, P.A., Badegesin, A.S.G. 2002. Radiation interception and its
efficiency for dry matter production in three crop species in the transitional
humid zone of Nigeria. Agronomie, 22, 273-281.
Jaaffar,
Z. and Gardner, F.P. 1988. Canopy development, yield and market quality in
peanut as affected by genotype and planting pattern. Crop Sci, 28, 299-305.
Jones,
H.G. 1992. Plants and Microclimate. A Quantitative Approach To Environmental
Plant Physiology. (2nd ed). Cambridge Univ. Press. New York. 428 p.
Keating,
B.A. and Carberry, P.S. 1993. Resource capture and use in intercropping: solar
radiation. Field Crops Res. 34, 273-301.
Lawlor,
D.W. 1993. Photosynthesis. Molecular, Physiological, and Environmental
Processes. Longman Sci. Tech. Hongkong. 318 p.
Matthews, R.B., Harris,
D., Williams, J.H. and Nageswara Rao, R.C., 1988. The physiological
basis for yield differences between four genotypes of groundnut (Arachis hypogaea L.) in response to drought. II. Solar
radiation interception and leaf movement. Expl. Agric. 24, 203-213.
Monteith,
J. and Unsworth, M. 2013. Principles
of environmental physics: Plants, animals, and the atmosphere (4th
ed.). Oxford, UK: Academic
Nautiyal, P.C.,
Ravindra, V. and Joshi, Y.C. 1995. Gas exchange and leaf water relations in
two peanut cultivars of different drought tolerance. Biol. Plant. 37, 371-374.
Sinclair,
T.R., and Horie, T. 1989. Leaf nitrogen, photosynthesis, and crop radiation use
efficiency: A review. Crop Sci. 29, 90-8.
Sinclair,
T.R., Shiraiwa, T. and Hammer, G.L. 1992. Variation in crop radiation use efficiency
in response to increased proportion of diffuse radiation. Crop Sci. 32,
1281-4.
Sinclair,
T.R., Bennett, J.M. and Boote, K.J. 1993. Leaf Nitrogen Content, Photosynthesis
and Radiation Use Efficiency in Peanut. Peanut
Science, 20, 40-43
Slattery,
R. A. and Ort, D. R. 2015. Photosynthetic energy conversion efficiency: Setting
a baseline for gauging future improvements in important food and biofuel crops.
Plant Physiology, 168(2), 383-392.
Suprapto,
A., Sugito, Y., Sitompul, S.M. and Sudaryono. 2012. The Effect of
Varieties and Plant Population Densities on Dry Matter Production, Radiation
Interception,and Radiation Energy Conversion in Peanut.
The journal of tropical life science. 2(2), 49-52.
Thiebeau,
P., Beaudoin, N., Justes, E., Allirand, J.M. and Lemaire, G. 2011. Radiation
use efficiency and shoot: root dry matter partitioning in seedling growths and
regrowth crops of lucerne (Medicago sativa L.) after spring and autumn
sowings. European Journal of Agronomy, 35 (4), 255-268.
Willey,
R.W. and Heath, S.B. 1969. The quantitative relationship between plant
population and crop yield. Advances in agronomy, 21, 281-321.
Yeates, S.J., Constable, G.A. and McCumstie,
T. 2010. Irrigated cotton in the tropical dry season. II: Biomass accumulation,
partitioning and RUE. Field Crops
Research. 116(3), 290-299.
Zhang,
L., Vander Werf, W., Bastiaans, L., Zhang, S., Li, B. and Spiertz, J.H. 2008.
Light interception and utilization in relay
intercrops
of wheat and cotton. Field Crops Res, 107, 29-42.
Zhu,
X.G., Long, S.P. and Ort, D.R. 2008. What is the maximum efficiency with which
photosynthesis can convert solar energy into biomass. Current Opinion in
Biotechnology, 19(2), 153-159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar