Minggu, 02 Agustus 2020

PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI PADA TANAMAN KACANG TANAH MELALUI TEKNIK BUDIDAYA


PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI PADA TANAMAN KACANG TANAH MELALUI TEKNIK BUDIDAYA 

I.  LATAR BELAKANG

Peluang untuk meningkatkan produksi kacang tanah sangat besar baik pada lahan basah dan dataran rendah. Hasil ekonomi tanaman terdiri dari fungsi tingkat pertumbuhan, durasi pertumbuhan dan proporsi pertumbuhan yang diwujudkan dalam komponen biji-bijian (Gallagher dan Biscoe, 1978). Laju pertumbuhan tergantung pada kemampuan tanaman untuk menangkap cahaya dan efisiensi konversi radiasi yang diserap menjadi biomassa. Kacang seperti tanaman lain tidak hanya membutuhkan air dan nutrisi yang cukup tetapi juga radiasi matahari yang secara efektif dapat meningkatkan hasil. Cahaya adalah salah satu faktor utama untuk pertumbuhan dan produksi biomassa populasi tanaman dan berat kering.
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti energi radiasi matahari. Energi radiasi matahari berperan dalam proses fotosintesis tanaman untuk menghasilkan asimilat yang digunakan dalam pembentukan bagian-bagian tanaman. Oleh karena itu, produksi biomassa merupakan akumulasi dari radiasi matahari selama priode waktu tertentu. Bobot kering tanaman tergantung pada jumlah radiasi yang diintersepsi selama pertumbuhannya. Dalam pertanaman tingkat
intersepsi cahaya ditentukan oleh sebaran daun dalam tajuk. Menurut Sitompul, (2016) radiasi matahari yang diintersepsi dalam tajuk tanaman dapat ditaksir dari selisih antara radiasi yang sampai pada permukaan atas tajuk tanaman dengan radiasi yang berpenetrasi hingga di bawah tajuk atau permukaan tanah.
Efisiensi konversi energi sangat tergantung pada faktor lingkungan dan kemampuan tanaman untuk menerima intensitas radiasi matahari (Slattery dan Ort, 2015). Faktor iklim yang mempengaruhi efisiensi konversi energi surya seperti garis lintang, musim, awan dan konsentrasi CO2 di lingkungan tanaman, sedangkan faktor tanaman adalah posisi dan susunan daun, indeks luas daun (LAI) dan jenis pigmen daun (Monteith dan Unsworth, 2013). Efisiensi penangkapan cahaya juga ditentukan oleh laju pertumbuhan tanaman dan penutupan kanopi daun. Pemilihan varietas berkaitan erat dengan bentuk kanopi, laju pertumbuhan tanaman dan usia tanaman menentukan kemampuan tanaman untuk menangkap dan menyerap intensitas radiasi matahari (Zhu et al., 2008)
Efisiensi penggunaan radiasi surya adalah nilai konversi radiasi surya menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis. Nilai ini menunjukkan persentase berapa banyak energi radiasi yang diserap tanaman mampu diubah menjadi energi dalam bentuk kimia (Lawlor, 1993). Produksi berat kering berbagai tanaman rata-rata sekitar 1,4 g berat kering per MJ radiasi surya yang diserap tanaman atau dengan kata lain mempunyai nilai Efisiensi Konversi Energi (EKE 2,5) % (Jones, 1992). Kebutuhan radiasi matahari berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman berdasarkan hasil analisis Monteith (1997) dalam (Gardner et al., 2003). Kiniry et al., (1989) menyatakan bahwa nilai efesiensi penggunaan radiasi matahari pada tanaman jagung sebesar 1,6 g MJ-1, sorgum 1,3 g MJ-1, padi dan gandum sebesar  1,0 g MJ-1.

II.  PENGGUNAAN VARIETAS DALAM PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI

Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat variabel penutupan kanopi selama pertumbuhan awal di antara varietas kacang pada populasi tanaman yang berbeda mempengaruhi total akumulasi berat kering (Jaaffar dan Gardner, 1988). Struktur kanopi dapat memengaruhi respons kacang terhadap populasi tanaman dalam hal intersepsi radiasi matahari dan pertumbuhan tanaman (Willey dan Heath, 1969). Efisiensi konversi ini juga berbeda di antara varietas tanaman (Thiebeau et al., 2011). Efisiensi konversi adalah salah satu parameter utama yang diterapkan dalam banyak simulasi model pertumbuhan tanaman terhadap analisis produksi tanaman (Idinoba et al., 2002). Semakin banyak energi cahaya matahari yang dikonversi dalam proses fotosintesis menjadi fotosintat, maka bobot kering tanaman atau biomasa akan semakin banyak pula. Hal ini menunjukan hubungan luas daun dan indeks luas daun dengan produksi biomasa tanaman terjalin melalui proses fotosintesis.
            Hasil penelitian Suprapto et al., (2012) terhadap efisiensi intersepsi radiasi (IE) selama pertumbuhan varietas Kelinci (tipe Valensia) dan Kancil (tipe Spanyol) yang ditanam pada musim panas (Gambar 1) menunjukkan bahwa kedua varietas memiliki kemiripan dengan IE radiasi matahari pada awal tanaman hingga 100 hari setelah tanam (DAP), IE radiasi matahari varietas Kancil (95,68%) sedikit lebih tinggi dari Kelinci (95,06%). Nilai IE untuk kedua tanaman setelah 27 DAP menurun hingga umur 32 DAP (10,45-15,93%), kemudian meningkat hingga umur 71 DAP (95,06-95,68%) (Gambar 2a). Model yang digunakan memprediksi IE untuk setiap hari adalah y = 0,08x2-0.148x + 0,34 dengan R² = 0,939 (Kelinci), y = 0,069x2 - 0,136x + 0,408, R² = 0,977 (Kancil). Efisiensi intersepsi (IE) meningkat pada semua varietas sejak awal ditanam. Radiasi matahari ini diperlukan oleh tanaman untuk pembentukan biomassa. Hasil serupa telah dilaporkan oleh Collino et al., (2001) bahwa nilai EI pada awal pertumbuhan rendah dan semakin bertambah sampai panen.
 

Gambar 1. Efisiensi intersepsi radiasi (IE) selama pertumbuhan varietas Kelinci dan Kancil (Suprapto et al., 2012).  

Sedangkan efisiensi konversi energi radiasi (CE) pada dua varietas kacang tanah yaitu Kelinci (tipe Valensia) dan Kancil (tipe Spanyol) yang ditanam pada musim panas. Nilai rata-rata CE selama pertumbuhan awal tanaman hingga panen (100 hari setelah tanam/ DAP) menunjukkan perbedaan yang signifikan antara varietas Kelinci dan Kancil dengan nilai 1,52 % dan 1,41 % (Gambar 2). Berbagai nilai telah dilaporkan untuk CE pada tanaman mulai dari 0,73 % hingga 2 % (Gibbon et al., 1970; Coulson, 1985). Persamaan model memprediksi bahwa CE sangat berkorelasi, y = 4.948x2-15.40x + 15.28, R² = 0.990 (Kelinci), y = 4.447x2- 13.36x + 14.39, R² = 0.997 (Kancil). Efisiensi konversi energi radiasi (CE) ke total produksi bahan kering pada varietas Kelinci (1,52 %) menunjukkan persentase yang sedikit lebih tinggi daripada varietas Kancil (1,41 %).
Berdasarkan hasil penelitian ini, diindikasikan bahwa varietas Kelinci memiliki CE yang lebih baik. Penelitian lain oleh Zhang et al., (2008) menunjukkan bahwa radiasi aktif fotosintesis yang diserap melalui tanaman tergantung pada LAI dan luas daun kanopi. Salah satu parameter utama yang diterapkan dalam banyak simulasi model pertumbuhan tanaman adalah CE untuk menganalisis produksi (Idinoba et al., 2002). CE kacang tanah yang lebih rendah dapat dijelaskan sebagian karena pada kacang cadangan yang terakumulasi di pangkal daun harus ditranslokasi ulang ke polong. nilai CE untuk kacang tanah lebih rendah daripada banyak tanaman biji-bijian yang lain, karena produksi polong kacang membutuhkan lebih banyak energi daripada produksi organ vegetatif (Yeates et al., 2010).
 
 
Gambar 2. Efisiensi konversi energi radiasi (CE) selama pertumbuhan varietas Kelinci dan Kancil (Suprapto et al., 2012).

Pada penelitian Collino et al., (2001) terhadap Intersepsi cahaya dan efisiensi penggunaan radiasi (RUE) pada dua varietas kacang yaitu Manfredi 393 INTA dan Florman INTA yang ditanam pada dua pengaturan air yaitu IRR (irigasi diberikan selama periode tanam) dan WS (irigasi ditahan pada periode 47 hingga 113 hari setelah tanam). Nilai RUE berbeda antara genotipe di bawah pengaturan air IRR (Gambar 3), sesuai dengan laporan oleh Chapman et al. (1993), tetapi berbeda dengan Bennett et al., (1993) yang melaporkan tidak ada perbedaan di antara varietas. Efisiensi penggunaan radiasi (RUE) yang dinyatakan sebagai kemiringan dari regresi linier adalah 3.59 ± 0.08 dan 3.17 ± 0.10 g MJ-1 masing-masing untuk Manfredi 393 INTA dan Florman INTA. Nilai RUE ini dikaitkan secara negatif dengan koefisien k, yang nilainya 0.63 ± 0.06 untuk Manfredi 393 INTA dan 0.85 ± 0.07 untuk Florman INTA. Hubungan negatif ini sesuai dengan temuan Bell et al. (1993), yang menetapkan bahwa varietas Virginia dengan kelebihan luas daun yang besar, memiliki nilai koefisien k yang lebih tinggi daripada daun tanaman tegak, dan karenanya distribusi cahaya yang buruk dalam kanopi.
Dalam penelitian ini, estimasi RUE (kemiringan dari regresi linier) menggunakan rasio 1,45 g MJ-1 untuk periode 0-113 hari setelah tanam (DAS), dan sama untuk kedua varietas. Nilai RUE yang lebih tinggi secara signifikan ditemukan untuk Manfredi 393 INTA mengingat pembentukan kandungan energi untuk biomassa tidak dinyatakan ketika koreksi tersebut tidak digunakan karena Manfredi 393 INTA mempartisi proporsi biomassa yang lebih besar untuk polong, berat polong mencapai 20 % lebih banyak daripada Florman INTA pada 113 DAS (Collino et al., 2000).  
Di bawah pengaturan air WS, rasio antara biomasa total terkoreksi (TBc) terhadap radiasi aktif fotosintesis (PARi) cukup sesuai dengan model eksponensial dua-parameter (Gambar 3), yang menunjukkan bahwa RUE menurun secara bertahap ketika stres air meningkat, sesuai dengan Azam Ali et al., (1989). Namun, berdasarkan interval kepercayaan 95 % (tidak ditampilkan) dari kurva yang dipasang (Gambar 3), tidak ada perbedaan dalam RUE antara pengaturan air IRR dan WS yang diamati sampai 200 MJ PARi tercapai. Nilai PARi ini dicapai pada 84 DAS oleh kedua varietas di bawah aturan WS. Setelah 84 DAS RUE sangat dipengaruhi oleh stres air, meskipun dengan intensitas yang berbeda untuk masing-masing varietas. Rata-rata RUE selama periode 84-113 DAS lebih tinggi di Manfredi 393 INTA (1.66 ± 0.25 g MJ-1) daripada di Florman INTA (1.14 ± 0.19 g MJ-1). Nilai RUE ini adalah 54 dan 64% lebih rendah daripada yang diamati dalam kondisi air yang baik. Perilaku yang berbeda antara varietas di bawah defisit air juga tercermin dalam parameter b dari model eksponensial dua-parameter (Gambar 3), yang secara signifikan lebih rendah di Manfredi 393 INTA daripada di Florman INTA dengan 0.0037 ± 0.0004 dan 0.0051 ± 0.0008, masing-masing, menyatakan bahwa RUE Florman INTA menurun lebih cepat daripada Manfredi 393 INTA dari waktu ke waktu. Matthews et al., (1988) menemukan perbedaan RUE antar varietas pada awal pengisian polong, sementara Chapman et al., (1993) menemukan perbedaan antar genotip pada periode 50 hari yang dikenakan defisit air.
Dalam penelitian ini, perbedaan RUE setelah 200 MJ PARi tercapai, tampaknya dikaitkan dengan perbedaan dalam fotosintesis daun. Pengukuran mingguan nilai tukar karbon dioksida (CER) daun muda yang diambil dalam uji coba pelengkap untuk mendukung kesimpulan ini. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, setelah 113 DAS, Florman INTA mulai mengurangi CER-nya, sedangkan di Manfredi 393 INTA, pengurangan tersebut dimulai 1 minggu kemudian. Ketika stres air meningkat, perbedaan CER antara pengaturan air WS dan IRR juga meningkat. Dalam percobaan ini, Manfredi 393 INTA menunjukkan lebih toleransi terhadap kekeringan melalui kombinasi proporsi yang lebih rendah dan durasi pengurangan CER. Perbedaan CER antara pengaturan air dan varietas sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Nautiyal et al., (1995) yang menemukan, di bawah kondisi lapangan, penurunan yang signifikan dalam laju fotosintesis bersih di bawah stres air dan penurunan yang lebih tinggi terjadi pada kultivar yang sensitif terhadap kekeringan.

 

Gambar 3. Hubungan antara biomasa total terkoreksi (TBc) dan radiasi aktif fotosintesis (PAR) yang digunakan untuk memperkirakan RUE bagi varietas Florman INTA dan Manfredi 393 INTA, yang tumbuh pada pengaturan air IRR dan WS (Collino et al., 2001).
 

Gambar. 4. Nilai tukar karbon dioksida (CER) bagi varietas Florman INTA dan Manfredi 393 INTA, yang tumbuh diantara pengaturan air IRR dan WS (Collino et al., 2001).  


III.  KEPADATAN POPULASI TANAMAN DALAM PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI

Dalam upaya meningkatkan efesiensi radiasi pada tanaman dapat ditempuh dengan cara pengaturan populasi dan arah baris tanaman. Arah baris tanam dan kerapatan populasi tanaman mempengaruhi besarnya energi matahari yang diterima. Menurut Sugito, (2012) peningkatan efesiensi energi radiasi dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan tingkat populasi tanaman, pengaturan sistem bertanam dan pemilihan tipe daun tegak. Jarak tanam yang lebar memberikan hasil fotosintat lebih besar dibandingkan dengan jarak tanam yang lebih rapat. Fotosintesis akan memproduksi asimilat yang diakumulasikan dalam bentuk bahan kering tanaman (Gardner et al., 2003). Oleh karena itu, Produksi bahan bobot kering total tanaman memiliki hubungan yang positif dengan laju fotosintesis tanaman. Semakin tinggi laju fotosintesis, maka asimilat yang dihasilkan juga semakin tinggi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan bobot kering total tanaman.
Hasil penelitian Suprapto et al., (2012) terhadap efisiensi intersepsi radiasi (IE) pada perbedaan kepadatan populasi tanaman (PPD) yaitu 44,4, 25,0, 16,0, 11,1 dan 8,1 tanaman m-2 kacang tanah pada musim panas. Perbedaan PPD dipengaruhi pada umur 32 hari setelah tanam (DAP) sampai panen. Populasi tanaman dengan kepadatan tinggi (44,4 tanaman m-2) meningkatkan IE radiasi matahari menjadi 98,23 % (Gambar 5). Kombinasi antara varietas dan populasi tanaman tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada IE dari radiasi matahari. Model yang digunakan memprediksi IE untuk setiap hari adalah y = 0,087x2-0,116x + 0.586, R² = 0,929 (J1), y = 0,080x2-0,099x + 0,434, R² = 0,948 (J2), y = 0,098x2-0,291x + 0,472, R² = 0,994 (J3), y = 0,057x2-0.104 x + 0,208, R² = 0,948 (J4) dan y = 0,05x2-0,116x + 0,194, R² = 0,964 (J5). Efisiensi intersepsi (IE) kepadatan populasi pada 25,0 m-2 dan 44,4 tanaman m-2 menangkap lebih banyak radiasi dari populasi 11,1 atau 16,0 tanaman m-2.
Sedangkan efisiensi konversi energi radiasi (CE) pada perbedaan kepadatan populasi tanaman yaitu 44,4, 25,0, 16,0, 11,1 dan 8,1 tanaman m-2 kacang tanah yang ditanam pada musim panas, Perlakuan populasi tanaman yang berbeda pada awal pertumbuhan hingga panen (100 hari setelah tanam/ DAP) menunjukkan perbedaan yang signifikan. Populasi tanaman dengan kepadatan yang semakin tinggi (44,4 tanaman m-2) meningkatkan nilai rata-rata CE (Gambar 6). Persamaan model memprediksi bahwa CE sangat berkorelasi, y = 2.175x2-5.440 x + 6.988, R² = 0.992 (J1), y = 3.770x2-10.10x + 11.46, R² = 0.995 (J2), y = 5.792x2-19.86x + 20.30, R² = 0.990 (J3), y = 5.597x2- 16.89x + 16.45, R² = 0.990 (J4) dan y = 6.153x2-19.62x + 18.98, R² = 0.993 (J5).
 
 
Gambar 5. Efisiensi intersepsi radiasi (IE) pada perbedaan kepadatan populasi tanaman dari 8.1 (J5), 11.1 (J4), 16.0 (J3), 25.0 (J2) dan 44.4 tanaman  m-2 (J1) pada kacang tanah (Suprapto et al., 2012).

Gambar 6. Efisiensi konversi energi radiasi (CE) pada perbedaan kepadatan populasi tanaman dari 8.1 (J5), 11.1 (J4), 16.0 (J3), 25.0 (J2) dan 44.4 tanaman   m-2 (J1) pada kacang tanah (Suprapto et al., 2012).

Variasi kombinasi dan kepadatan populasi tanaman pada awal pertumbuhan menunjukkan perbedaan yang signifikan pada Nilai CE. Nilai CE pada tahap awal adalah sekitar 0,14-0,63% kemudian secara bertahap meningkat hingga dipanen sebesar 0,83-2,08%. Nilai CE terendah di semua populasi tanaman selama pertumbuhan awal dan meningkat secara linear dengan cepat.

IV.  TUMPANG SARI DALAM PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI

Radiasi berlimpah yang tersedia di daerah tropis dan subtropis memberikan peluang besar meningkatkan penggunaannya untuk produksi tanaman yang lebih baik. Penggunaan radiasi matahari yang efisien adalah salah satu kriteria utama untuk mendapatkan keuntungan hasil melalui tumpangsari. Para petani tidak hanya membutuhkan peningkatan produksi, tetapi juga kemampuan untuk menanam banyak tanaman di lahan-lahan sempit. Tumpangsari adalah salah satu ide berkelanjutan yang dapat sangat meningkatkan penggunaan radiasi matahari. Energi surya tambahan yang digunakan oleh kanopi tumpang sari mengarah ke peningkatan produksi tanaman, dan dengan demikian menghasilkan ekonomi yang lebih besar. Selama tiga dekade terakhir, banyak penelitian tentang penggunaan radiasi dalam sistem tumpangsari dan lorong untuk berbagai kombinasi tanaman (Keating dan Carberry, 1993; Black dan Ong, 2000).
Hasil penelitian Awal et al., (2006) terhadap efisiensi penggunaan radiasi (É›) dari sistem tanam tumpang sari jagung/ kacang tanah pada tiga perlakuan yaitu  tanaman tunggal jagung dan kacang tanah, dan tumpang sari jagung/ kacang tanah menunjukkan bahwa koefisien pemadaman cahaya kanopi (k) dari kacang tanah berkurang saat ditumpangsarikan dengan jagung. Nilai rata-rata kacang tanah tumpangsari (2,13 g (DW) MJ-1) adalah 79 % lebih tinggi daripada kacang tanah yang tumbuh sendiri. Nilai efisiensi penggunaan radiasi (É›) dari tegakan tumpangsari gabungan (3,03 g (DW) MJ-1) lebih dari dua kali lipat kacang tanah tunggal, tetapi sedikit lebih rendah dari tegakan jagung saja (3,27 g (DW) MJ-1). Indeks panen (HI) kacang tanah tumpangsari sekitar 13 % lebih rendah dari kacang tanah yang ditanam tunggal, tetapi menghasilkan 46 % dari polong yang terakhir (299 g m-2), parameter yang mewakili output sebenarnya dari sistem tumpangsari. Hasil ini menunjukkan bahwa tumpangsari jagung/ kacang akan membantu meningkatkan produksi melalui pemanfaatan energi surya secara efisien.
Perkembangan nilai koefisien pemadaman cahaya (k) selama satu musim ditunjukkan pada Gambar 7. Kanopi semua perlakuan awalnya memiliki koefisien pemadaman cahaya yang rendah, diikuti oleh nilai yang lebih tinggi pada tahap berikutnya. Pada semua tahap pertumbuhan, kanopi tanaman tunggal dan tanaman tumpang sari jagung memiliki nilai k sama dan stabil yang lebih rendah daripada tanaman tunggal dan tanaman tumpang sari kacang tanah, kecuali untuk pengukuran dua tahap pertama.
Tegakan tumpangsari kacang memiliki nilai k yang lebih rendah daripada kanopi tanaman tunggal pada saat periode tumpangsari yang paling efektif. Nilai k untuk tumpang sari kacang menunjukkan standar deviasi yang lebih besar daripada kanopi lainnya. Nilai rata-rata musiman k disajikan pada Tabel 1. Kanopi jagung tunggal dan tumpangsari menunjukkan nilai k yang serupa. Sebaliknya, nilai k tumpangsari kacang tanah adalah sekitar 17 % lebih rendah dari kacang tanah tunggal, dengan variabilitas yang lebih besar daripada kanopi lainnya.  
 
Gambar 7. Koefisien pemadaman cahaya (k) selama satu musim (Awal et al., 2006).

Tabel 1. Rata-rata koefisien pemadaman cahaya musiman (k) dari kanopi di bawah sistem tanam yang berbeda (Awal et al., 2006)
 
Pada semua jenis tanaman, perkembangan awal koefisien pemadaman cahaya (k) yang lebih tinggi menunjukkan proyeksi cepat dari elemen kanopi ke permukaan horizontal untuk menjebak jumlah maksimum radiasi setelah pembentukan bibit. k yang lebih tinggi baik dari kacang tanah tunggal maupun tumpangsari dibandingkan dengan tegakan jagung dapat dijelaskan bahwa kanopi kacang membesar lebih lambat daripada jagung (Black dan Ong, 2000).

Tabel 2. Efisiensi penggunaan radiasi, É› (g (DW) MJ-1), untuk sistem tanam yang berbeda (Awal et al., 2006)
 










Pada jagung tunggal sepanjang musim, nilai efisiensi penggunaan radiasi (É›) tidak pernah turun di bawah 2 g (DW) MJ-1, kecuali selama seminggu sebelum panen akhir, ketika É› menjadi negatif (Tabel 2). É› maksimal dari 19 Juni hingga 6 Juli, sebesar 5,81 g (DW) MJ-1. Nilai tengah musiman É› juga memiliki nilai lebih tinggi, sebesar 3,27 g (DW) MJ-1. Baik perubahan musiman maupun rata-rata jagung tumpangsari sangat mirip dengan tegakan tanaman tunggal. Awalnya, É› kacang tanah agak lebih rendah, tetapi segera mencapai maksimum pada 6 Juli, sebesar 3,42 g (DW) MJ-1. Setelah itu, É› secara bertahap menurun hingga 26 Agustus, diikuti oleh peningkatan selama tahap pengisian polong berikutnya. Perubahan musiman pada É› kacang tanah tumpangsari mengikuti pola yang sangat mirip dengan tegakan tanaman tunggal. É› kacang tumpang sari sepanjang musim sekitar 79% lebih tinggi dari pada tanaman tunggal. É› untuk tumpang sari gabungan berubah secara terus menerus selama tahap pertumbuhan. Namun, rata-rata musiman É› dari tanaman sela gabungan 7 % lebih rendah dari jagung, tetapi dua kali lipat lebih tinggi dari kacang tanah tunggal.

V.  KANDUNGAN NITROGEN DALAM PENINGKATAN EFISIENSI ENERGI MATAHARI

Efisiensi penggunaan radiasi tanaman (RUE, g MJ-l) adalah jumlah biomassa yang terakumulasi untuk setiap unit radiasi matahari total yang diserap oleh kanopi daun. Ini sering digunakan dalam menghitung akumulasi biomassa tanaman. Pada kacang (Arachis hypogaea L.), seperti pada spesies lain, efisiensi penggunaan radiasi (RUE) bervariasi dengan status nitrogen daun (Sinclair et al., 1993; Wright et al., 1993). Sinclair et al., (1993) memperoleh respons teoretis RUE terhadap nitrogen daun spesifik (SLN, gNm-2 luas daun) dalam kacang tanah dengan mengkuantifikasi respons lengkung dari nilai tukar karbon dioksida daun ke SLN dan mengganti respons ini ke dalam kerangka umum untuk menghitung RUE tanaman ditetapkan oleh Sinclair dan Horie (1989). Mereka menunjukkan bahwa RUE meningkat secara lengkung dengan SLN sehingga pada SLN tinggi, RUE tinggi, tetapi sedikit meningkat sebagai respons terhadap peningkatan lebih lanjut dalam SLN. Pada SLN rendah, RUE rendah, tetapi diperkirakan akan meningkat dengan cepat seiring dengan peningkatan SLN.
Kandungan N tanaman memiliki pengaruh besar pada produktivitas tanaman. Nilai tukar karbon dioksida (CER) sangat sensitif terhadap kadar N dalam daun. Sinclair dan Horie (1989) meninjau data fotosintesis dari daun kedelai (Glycine max L. Merr.), Padi (Oryza sativa L.), dan jagung (Zea mays L.), dan menyimpulkan bahwa banyak perbedaan dalam CER daun pada suatu spesies dikaitkan dengan N daun yang diekspresikan berdasarkan satuan luas daun. Sebagai konsekuensi dari hubungan yang erat ini, Sinclair dan Horie berpendapat bahwa efisiensi penggunaan radiasi kanopi (RUE, g biomassa yang terakumulasi per MJ total radiasi matahari yang diserap) juga terkait erat dengan N daun.  
Hasil penelitian Sinclair et al., (1993) korelasi antara kandungan nitrogen daun spesifik (SLN, gNm-2 luas daun) terhadap tingkat pertukaran karbon daun (CER), dan efisiensi penggunaan radiasi (RUE) pada empat kultivar kacang tanah menunjukkan bahwa analisis akumulasi biomassa dan intersepsi cahaya kumulatif memberikan nilai stabil untuk RUE sebesar 1,00 g Mr-1 (s.e. = 0,01, r2 = 0,99) sepanjang musim di antara empat kultivar. Stabilitas ini dalam RUE konsisten dengan stabilitas yang diamati dalam tingkat pertukaran karbon daun (CER) sepanjang sebagian besar musim (Gambar 8a) dan ketetapan pada nitrogen daun spesifik (SLN) untuk daun yang terpapar digunakan dalam pengukuran CER (Gambar 8b).
Nilai SLN untuk semua daun yang diperoleh dari 3 sampel tanaman (Gambar 8c) juga menunjukkan sedikit variasi di antara kultivar dan sepanjang musim, kecuali untuk awal musim ketika semua daun baru diperluas. Nilai rata-rata SLN untuk semua daun pada tanaman dari keempat kultivar setelah hari ke 35 adalah  1,37 g Nm-2 (s.e, = 0,01). Nilai ini secara substansial kurang dari SLN yang diperoleh untuk daun yang terpapar digunakan dalam pengukuran CER (2,12 g N  m-2).

















Gambar 8. Pola musiman empat kultivar kacang tanah yang ditanam di bawah kondisi lapangan dalam (A) nilai tukar karbon daun muda, (B) nitrogen daun per satuan luas daun yang digunakan dalam pengukuran CER, dan (C) rata-rata nitrogen daun per satuan luas semua daun kanopi (Sinclair      et al., 1993).

Sinclair dan Horie (1989) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan radiasi (RUE) terkait dengan tingkat CER daun, yang pada dasarnya tergantung dengan SLN. Perhitungan RUE yang diusulkan oleh Sinclair dan Horie (1989), kurva respons teoretis dihasilkan untuk RUE kacang sebagai fungsi SLN (Gambar 9). RUE yang diamati sebesar 1,00 g Mj-1 diplot sebagai fungsi baik dari rata-rata SLN untuk semua daun (1,37 gNm-2) dan hanya daun terpapar yang diukur CER (2,12 gNm-2). RUE yang diamati adalah 29 % lebih besar dari RUE yang diharapkan secara teoritis (0,78 g Mj-1) berdasarkan rata-rata SLN untuk semua daun, tetapi 7% lebih rendah dari RUE yang diharapkan secara teoritis (1,08 g Mr-1) berdasarkan rata-rata SLN untuk daun yang terpapar.











Gambar 9. Efisiensi penggunaan radiasi (RUE) diplot sebagai fungsi nitrogen daun per satuan luas. RUE yang diamati diplotkan terhadap kandungan nitrogen daun yang diukur untuk semua daun kanopi dan hanya untuk daun yang terpapar digunakan dalam pengukuran CER (Sinclair et al., 1993).

Dari hubungan antara CER dan SLN, Sinclair dan Horie (1989) menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan radiasi (RUE) tanaman terkait erat dengan nitrogen daun spesifik (SLN). Stabilitas RUE sepanjang musim untuk empat kultivar kacang tanah konsisten dengan stabilitas yang diamati pada SLN kanopi sepanjang musim.
Pada penelitian Hammer dan Wright, (1994) hubungan nitrogen daun spesifik kanopi (SLN) terhadap efesiensi penggunaan radiasi (RUE), tingkat radiasi dan proposi radiasi difuse (radiasi hambur) pada kacang tanah menunjukkan bahwa nilai efisiensi penggunaan radiasi (RUE) untuk berbagai kombinasi rata-rata nitrogen daun spesifik (SLNav), dan tingkat transmisi atmosfer (RATIO), diperkirakan dengan asumsi tidak ada gradien SLN di kanopi daun (i.e. SLNgrad = O), tetapi radiasi insiden dipartisi menjadi komponen langsung dan difuse (hambur) seperti yang ditetapkan dalam kerangka teori.
Menambahkan partisi radiasi ke dalam komponen langsung dan difuse menghasilkan peningkatan RUE dari 0,06 menjadi 0,15 g MJ-l (Gambar 10). Tingkat peningkatan paling rendah pada RASIO tinggi dan terbesar pada RASIO rendah. Dinyatakan sebagai persentase, perubahan RUE berhubungan dengan peningkatan 7 hingga 23 %. Persentase kenaikan yang lebih rendah diprediksi pada hari yang cerah (RATIO = 0,75) dengan SLNav tinggi. Peningkatan persentase yang lebih tinggi terjadi pada hari berawan (RATIO = 0,35) pada SLNav yang relatif rendah.












Gambar 10. Respon yang diprediksi dari efisiensi penggunaan radiasi (RUE) terhadap rata-rata nitrogen daun spesifik kanopi (SLNav) untuk tiga tingkat kepadatan fluks radiasi yang terkait dengan tiga tingkat transmisi atmosfer (RATIO). Dengan asumsi tidak ada gradien kanopi di SLN dan radiasi insiden dipartisi menjadi komponen langsung dan difuse (garis penuh) (Hammer dan Wright, 1994).  

Peningkatan RUE yang dihasilkan dari partisi radiasi menjadi komponen langsung dan difuse disebabkan oleh komponen difuse yang tersebar di area yang diterangi matahari dan daun peneduh. Dengan tidak adanya pertimbangan komponen difuse, daun naungan hanya menerima radiasi yang tersebar dari daun yang diterangi matahari. Pengenalan komponen difuse mengurangi kepadatan fluks radiasi pada daun yang diterangi matahari tetapi meningkatkannya pada daun yang teduh. Peningkatan efisiensi kanopi dihasilkan dari keseimbangan perubahan efisiensi sinar matahari dan daun peneduh. Ada sedikit perubahan dalam efisiensi daun peneduh karena mereka beroperasi pada tingkat radiasi rendah, tetapi efisiensi daun yang diterangi matahari meningkat dengan berkurangnya insiden kepadatan fluks radiasi. Karenanya, efisiensi kanopi meningkat.
Keseimbangan perubahan efisiensi daun yang diterangi matahari dan ternaungi juga menjelaskan pengaruh yang lebih besar pada RUE dengan transmisi atmosfer (RATIO) rendah ketika komponen difuse diperkenalkan (Gambar 10). Pada RASIO rendah, insiden radiasi rendah dan akibatnya, ada pengaruh yang lebih besar pada efisiensi daun yang diterangi matahari. Penurunan RASIO berdampak hanya pada komponen radiasi langsung, sehingga peningkatan RUE yang lebih besar pada RASIO rendah dapat dikaitkan dengan proporsi radiasi difuse (hambur) seperti yang dilaporkan oleh Sinclair et al., (1992). Namun, penting untuk disadari bahwa proporsi yang tinggi dari radiasi difuse hanya dapat terjadi pada RASIO rendah dan bahwa sebagian besar peningkatan RUE dalam kondisi seperti itu disebabkan langsung oleh pengaruh RASIO.























DAFTAR PUSTAKA

Awal, M.A., Koshi, H. And Ikeda, T. 2006. Radiation interception and use by maize/peanut intercrop canopy. Agricultural and Forest Meteorology 139, 74-83.

Azam Ali, S.N., Simmonds, L.P., Nageswara Rao, R.C. and Williams, J.H. 1989. Population, growth and water use of groundnut maintained on stored water. III. Dry matter, water use and light interception. Expl. Agric. 25, 77-86.

Bell, M.J., Wright, G.C. and Harch, G.R. 1993. Environmental and agronomic effect on the growth of four peanut cultivars in a sub-tropical environment. I. Dry matter accumulation and radiation use efficiency. Expl. Agric. 29, 473-490

Bennett, J.M., Sinclair, T.R., Ma, L. and Boote, K.J. 1993. Single leaf carbon exchange and canopy radiation use efficiency of four peanut cultivars. Peanut Sci. 20, 1-5.

Black, C. and Ong, C. 2000. Utilization of light and water in tropical agriculture. Agric. For. Meteorol. 104, 25-47.

Chapman, S.C., Ludlow, M.M., Blamey, F.P.C. and Fischer, K.S. 1993. Effect of drought during early reproductive development on growth of cultivars of groundnut (Arachis hypogaea L.). I. Utilization of radiation and water during drought. Field Crop. Res. 32, 193-210.

Collino, D.J., Dardanelli, J.L., Sereno, R. and Racca, R.W. 2000. Physiological responses of argentine peanut varieties to water stress. Water uptake and water use efficiency. Field Crop. Res. 68, 133-142.

Collino, D.J., Dardanelli, J.L., Sereno, R. and Racca, R.W. 2001. Physiological responses of argentine peanut varieties to water stress. Light interception, radiation use efficiency and partitioning of assimilates. Field Crop. Res. 70, 177-184.

Coulson, C.L. 1985. Radiant energy conversion in three cultivars of Phaseolus vulgaris. Agric Forest Meteorol. 35, 21-29.

Evans, J.R. 1989. Photosynthesis and nitrogen relationships in leaves of C3 plants. Oecol. 78, 9-19.

Gallagher, J.N. and Biscoe, P.V. 1978. Radiation absorption, growth and yield of cereals. J. Agric. Sci. Camb, 19, 47-60.

Gibbon, D.R., Holliday, F., Mattei. and G, Luppi. 1970. Crop production potential and energy conversion efficiency in different environments. Exp Agric. 6, 197-204.

Hammer, G.L. and Wright, G.C. 1994. A Theoretical Analysis of Nitrogen and Radiation Effects on Radiation Use Efficiency in Peanut. Aust. J. Agric. Res., 45, 575-89

Hirose, T. and Werger, M.J.A. 1987. Maximizing daily canopy photosynthesis with respect to the leaf nitrogen allocation pattern in the canopy. Oecologia 72, 520-526.

Idinoba, M.E., Idinoba, P.A., Badegesin, A.S.G. 2002. Radiation interception and its efficiency for dry matter production in three crop species in the transitional humid zone of Nigeria. Agronomie, 22, 273-281.

Jaaffar, Z. and Gardner, F.P. 1988. Canopy development, yield and market quality in peanut as affected by genotype and planting pattern. Crop Sci, 28, 299-305.

Jones, H.G. 1992. Plants and Microclimate. A Quantitative Approach To Environmental Plant Physiology. (2nd ed). Cambridge Univ. Press. New York. 428 p.

Keating, B.A. and Carberry, P.S. 1993. Resource capture and use in intercropping: solar radiation. Field Crops Res. 34, 273-301.

Lawlor, D.W. 1993. Photosynthesis. Molecular, Physiological, and Environmental Processes. Longman Sci. Tech. Hongkong. 318 p.

Matthews, R.B., Harris, D., Williams, J.H. and Nageswara Rao, R.C., 1988. The physiological basis for yield differences between four genotypes of groundnut (Arachis hypogaea L.) in response to drought. II. Solar radiation interception and leaf movement. Expl. Agric. 24, 203-213.

Monteith, J. and Unsworth, M. 2013. Principles of environmental physics: Plants, animals, and the atmosphere (4th ed.). Oxford, UK: Academic

Nautiyal, P.C., Ravindra, V. and Joshi, Y.C. 1995. Gas exchange and leaf water relations in two peanut cultivars of different drought tolerance. Biol. Plant. 37, 371-374.

Sinclair, T.R., and Horie, T. 1989. Leaf nitrogen, photosynthesis, and crop radiation use efficiency: A review. Crop Sci. 29, 90-8.

Sinclair, T.R., Shiraiwa, T. and Hammer, G.L. 1992. Variation in crop radiation use efficiency in response to increased proportion of diffuse radiation. Crop Sci. 32, 1281-4.

Sinclair, T.R., Bennett, J.M. and Boote, K.J. 1993. Leaf Nitrogen Content, Photosynthesis and Radiation Use Efficiency in Peanut. Peanut Science, 20, 40-43

Slattery, R. A. and Ort, D. R. 2015. Photosynthetic energy conversion efficiency: Setting a baseline for gauging future improvements in important food and biofuel crops. Plant Physiology, 168(2), 383-392.

Suprapto, A., Sugito, Y., Sitompul, S.M. and Sudaryono. 2012. The Effect of Varieties and Plant Population Densities on Dry Matter Production, Radiation Interception,and Radiation Energy Conversion in Peanut. The journal of tropical life science. 2(2), 49-52.

Thiebeau, P., Beaudoin, N., Justes, E., Allirand, J.M. and Lemaire, G. 2011. Radiation use efficiency and shoot: root dry matter partitioning in seedling growths and regrowth crops of lucerne (Medicago sativa L.) after spring and autumn sowings. European Journal of Agronomy, 35 (4), 255-268.

Willey, R.W. and Heath, S.B. 1969. The quantitative relationship between plant population and crop yield. Advances in agronomy, 21, 281-321.

Yeates, S.J., Constable, G.A. and McCumstie, T. 2010. Irrigated cotton in the tropical dry season. II: Biomass accumulation, partitioning and RUE. Field Crops Research. 116(3), 290-299.

Zhang, L., Vander Werf, W., Bastiaans, L., Zhang, S., Li, B. and Spiertz, J.H. 2008. Light interception and utilization in relay intercrops of wheat and cotton. Field Crops Res, 107, 29-42.

Zhu, X.G., Long, S.P. and Ort, D.R. 2008. What is the maximum efficiency with which photosynthesis can convert solar energy into biomass. Current Opinion in Biotechnology, 19(2), 153-159.










Tidak ada komentar: