DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN
I.
PENDAHULUAN
Perubahan
iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi. Mengingat iklim
adalah unsur utama dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka
perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian
(Las, 2007).
Indonesia
sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah katulistiwa termasuk wilayah
yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan, kenaikan
muka air laut, dan suhu udara, serta peningkatan kejadian iklim ekstrim berupa
banjir dan kekeringan merupakan beberapa dampak serius perubahan iklim yang
dihadapi Indonesia (Tim Sintesis Kebijakan, 2007).
Perubahan iklim yang telah menimbulkan beberapa
bencana yang memiliki kemungkinan untuk
menjadi lebih buruk di masa mendatang. Dengan menggunakan asumsi kenaikan suhu
di Indonesia antara 0,40 - 30 C di tahun 2030 dan 0,90 - 40 C
di tahun 2070, terbukti bahwa perubahan iklim akibat memanasnya bumi secara
negatif akan menurunkan produksi pertanian dan tingkat kesejahteraan antara 2,5
- 18 persen per tahun (Rahayu, 2007).
Beberapa
penemuan terakhir mulai memperjelas pengaruh iklim terhadap produksi pertanian.
Pengaruh pada produksi pertanian dapat disebabkan paling tidak oleh pengaruhnya
terhadap produktivitas tanaman, organisme pengganggu tanaman, dan kondisi
tanah. Iklim dan cuaca merupakan faktor penentu utama bagi pertumbuhan dan
produktifitas tanaman pangan. Produktifitas pertanian berubah-ubah secara nyata dari
tahun ke tahun. Perubahan drastis cuaca, lebih berpengaruh terhadap pertanian
dibanding perubahan rata-rata. Tanaman sangat peka terhadap perubahan cuaca
yang sifatnya sementara dan drastis. Perbedaan cuaca antar tahun lebih
berpengaruh dibanding dengan perubahan iklim yang diproyeksikan (Munawar, 2010). Makalah ini
akan membahas mengenai penyebab terjadinya perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan produktifitas tanaman.
II.
PENYABAB TERJADINYA PERUBAHAN IKLIM
Perubahan
iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi (Las, 2007). IPCC
(2007) dalam Noordwijk (2008). telah memberikan banyak bukti kuat secara ilmiah bahwa iklim
global telah berubah pada tingkatan yang cukup besar sepanjang sejarah geologi.
Perubahan tersebut terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi
gas rumah kaca
(GRK) di atmosfer, terutama tersusun dari gas-gas CO2,
CH4 dan N2O.
Gas
rumah kaca utama yang terus meningkat adalah karbon dioksida (CO2). Sebagian
dari karbon dioksida ini dapat diserap kembali, antara lain melalui proses
fotosintesis yang merupakan bagian dari proses pertumbuhan tanaman atau pohon.
Namun, kini kebanyakan negara memproduksi karbon dioksida secara jauh lebih
cepat ketimbang kecepatan penyerapannya oleh tanaman atau pohon, sehingga konsentrasinya
di atmosfer meningkat secara bertahap. Ada beberapa gas rumah kaca yang lain.
Salah satunya adalah metan (CH4), yang dapat dihasilkan dari lahan
rawa dan sawah serta dari tumpukan sampah dan kotoran ternak. Gas-gas rumah
kaca lainnya, meski jumlahnya lebih sedikit, antara lain adalah nitrogen oksida
(N2O) dan sulfur heksaflorida (SF6) (United Nations
Development Programme Indonesia, 2007).
Beberapa
jenis gas di atmosfir, seperti CO2, CH4, dan N2O
mempengaruhi iklim permukaan bumi karena kemampuanya dalam membantu
proses transmisi radiasi dari matahari ke permukaan bumi, dan juga menghambat
keluarnya sebagian radiasi dari permukaan bumi. Kalau konsentrasi dari gas-gas
ini di atmosfir meningkat, radiasi yang keluar dari permukaan bumi akan
terhambat, sehingga suhu permukaan bumi bertambah besar. Prediksi peningkatan suhu bumi bukanlah suatu hal yang
mudah iklim di suatu daerah merupakan hasil interaksi dari proses-proses fisika
dan mekanik yang saling berhubungan. Peningkatan suhu, akan menyebabkan
peningkatan evapotranspirasi yang berdampak pada meningkatnya konsentrasi. Apabila konsentrasi dari gas-gas ini di atmosfir meningkat,
radiasi yang berupa uap air, H2O(gas). Uap air juga merupakan gas penghambat
keluarnya radiasi dari permukaan bumi, sementara di lain pihak keberadaan uap
air tersebut juga menimbulkan umpan balik negatif karena peningkatan
pertumbuhan awan, menyebabkan terhambatnya transmisi radiasi matahari ke
permukaan bumi (Syarifuddin, 2011).
Aktifitas-aktifitas
yang menghasilkan GRK adalah perindustrian, penyediaan energi listrik, dan
transportasi. Sedangkan dari peristiwa secara alam juga menghasilkan/
mengeluarkan GRK seperti dari letusan gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran
hutan, peternakan hingga kita bernafaspun mengeluarkan GRK. Komposisi dan
konsentrasi gas rumah kaca yang berada di lapisan atmosfer akan sangat
bergantung dari gas-gas emisi yang dihasilkan berbagai kegiatan manusia dalam
merekayasa sistem tatanan ekologi di planet ini (Hamid, 2009).
United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) mengklasifikasi enam
jenis gas yang dapat menyerap radiasi matahari di lapisan atmosfer yaitu
Karbondioksida (CO2), Dinitroksida (NO2), Metana (CH4),
Sulfurheksaflorida (SF6), Perfluorokarbon (PFCs) dan
hidrofluorokarbon (HFCs). Gas karbondioksida (CO2),
dinitrooksida (NO2) dan metana (CH4) terutama dihasilkan
dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi, transportasi dan industri.
Gas metana (CH4) juga dihasilkan dari kegiatan pertanian dan
peternakan. Sementara untuk gas sulfurheksaflorida (SF6),
perflorokarbon (PFCs) dan hidroflorokarbon (HFCs) dihasilkan dari industri pendingin
dan penggunaan aerosol (partikel kecil/debu) (Hamid, 2009).
III. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP
PERTUMBUHAN TANAMAN
Perubahan
iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam
yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (1) naiknya suhu udara yang juga berdampak
terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (2)
berubahnya pola curah hujan, (3) makin meningkatnya intensitas kejadian iklim
ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (4) naiknya permukaan
air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara. (Direktorat Pengelolaan Air,
2009).
1. Dampak Peningkatan Konsentrasi CO2 di
Atmosfer.
Gas CO2 merupakan sumber karbon utama
bagi pertumbuhan tanaman. Konsentrasi CO2 di atmosfir saat ini belum
optimal, sehingga penambahan CO2 kepada tanaman di dalam industri
pertanian di dalam rumah kaca merupakan kegiatan normal untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman seperti tomat, selada, timun dan bunga potong.
Pengaruh fisiologis utama dari kenaikan CO2
adalah meningkatnya laju assimilasi (laju pengikatan CO2 untuk
membentuk karbohidrat,fotosintesis) di dalam daun. Efisiensi penggunaan
faktor-faktor pertumbuhan lainnya (seperti radiasi matahari, air dan nutrisi)
juga akan ikut meningkat.
Selain
pengaruh positif terhadap proses fotosintesis, kenaikan CO2 juga akan
mempunyai pengaruh positif terhadap penggunaan air oleh tanaman. Stomata
mempunyai fungsi sebagai pintu gerbang masuknya CO2 dan keluarnya
uap air ke/dari daun. Besar kecilnya pembukaan stomata merupakan regulasi
terpenting yang dilakukan oleh tanaman, dimana tanaman berusaha memasukkan CO2
sebanyak mungkin tetapi dengan mengeluarkan H2O sesedikit mungkin,
untuk mencapai effisiensi pertumbuhan yang tinggi. Jika CO2 di
atmosfir meningkat, tanaman tidak membutuhkan pembukaan stomata maksimum untuk
mencapai konsentrasi CO2 optimum di dalam daun, sehingga laju
pengeluaran H2O dapat dikurangi. Dengan kondisi tersebut maka laju
pembentukan biomassa akan meningkat (Syarifuddin, 2011).
Efek langsung dari meningkatnya CO2,
berdampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebagaimana
dijelaskan diatas. Akan tetapi dampak pengikutan berupa peningkatan suhu dan
perubahan siklus hidrologi menyebabkan pengaruh positif dari kenaikan CO2
menjadi berkurang atau terhambat sama sekali (Munawar, 2010).
2. Naiknya Suhu Udara yang Juga Berdampak Terhadap
Unsur Iklim Lain.
Suhu
merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Suhu udara dipengaruhi oleh radiasi yang diterima di
permukaan bumi sementara tinggi rendahnya suhu disekitar tanaman ditentukan
oleh radiasi matahari, kerapatan tanaman, distribusi cahaya dalam tajuk tanaman,
kandungan lengas tanah. Umumnya laju metabolisme makhluk hidup akan bertambah
dengan meningkatnya suhu hingga titik optimum tertentu. Beberapa proses
metabolisme tersebut antara lain bukaan stomata, laju transpirasi, laju
penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis, dan respirasi. Setelah melewati titik
optimum, proses tersebut mulai dihambat: baik secara fisik maupun kimia,
menurunnya aktifitas enzim (enzim terdegradasi)
Pengaruh
peningkatan suhu dapat mengurangi atau bahkan mengurangi dampak positif yang
diberikan dari meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfir. Peningkatan
suhu disekitar iklim mikro tanaman akan menyebabkan cepat hilangnya kandungan
lengas tanah (kadar air tanah) akibat evaporasi. Hal tersebut dapat berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman terutama pada daerah yang
lengas tanahnya terbatas.
Setiap tanaman
memiliki suhu dasar yang merupakan suhu minimum bagi tanaman untuk
bermetabolisme. Besaran suhu dasar ini akan mempengaruhi besarnya Thermal unit
yang diperlukan oleh tanaman untuk melewati setiap fase perkembangannya.
Hubungan antara thermal unit dengan suhu lingkungan adalah berbanding lurus
sementara berbanding terbalik dengan umur tanaman. Artinya semakin tinggi suhu,
maka umur tanaman akan semakin pendek yang akhirnya berdampak pada waktu
penumpukan fotosintat dan pembentukan biomassa yang lebih rendah (Syarifuddin, 2011).
Dampak
peningkatan suhu terhadap tanaman pangan
menurut Las (2007) adalah terjadinya peningkatan transpirasi yang
menurunkan produktivitas, peningkatan konsumsi air, percepatan pematangan buah/biji yang
menurunkan mutu hasil, dan perkembangan beberapa
organisme pengganggu tanaman.
Bahkan dirjen IRRI
(International Rice Researh
Institute) menyatakan bahwa dengan peningkatan suhu udara rata-rata 1°C dapat menurunkan
produktivitas beras dunia sekitar 5-10 %.
Peningkatan
temperatur dapat menyebabkan penurunan produksi pada berbagai jenis tanaman
pangan, Menurut Tang et al., (2006)
dan Weerakoon et al.,
(2008), Pada tanaman padi, fase pembentukan malai sangat sensitif terhadap
temperatur tinggi. Selama tahap ini, stress akibat panas sangat memungkinkan
untuk terjadinya sterilitas floret, menurunnya kesuburan dan kehilangan hasil.
Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya aktifitas serta perkecambahan
polen, terbatasnya pertumbuhan tabung polen, rendahnya daya dehiscence polen dan penyerbukan yang
tidak sempurna.
Di
samping itu temperatur juga secara langsung berperan terhadap perkembangan biji
seperti pengisian biji dan laju produksi bahan kering pada biji (Kobata dan
Uemuki, 2004) Temperatur tinggi dapat menghambat perkembangan biji pada padi
(Zakaria et al., 2002) gandum (Hawker dan Jenner, 1993).
Peningkatan
temperatur selama kemasakan juga dapat menyebabkan penurunan kualitas biji
terutama yang diakibatkan oleh terhambatnya akumulasi cadangan makanan pada
biji (Zakaria, 2005). Munculnya bagian “putih buram” yang biasanya di dapatkan
pada bagian gabah yang kurang sempurna pada musim panas diperkirakan mempunyai
hubungan yang erat dengan sistem transfer dan transportasi cadangan makanan selama
pembentukan biji. Bagian putih buram ini adalah bagian dari kerusakan yang
disebabkan oleh temperatur tinggi selama kemasakan.
3. Berubahnya Pola Curah Hujan.
Perubahan
iklim juga menyebabkan terjadinya perubahan jumlah hujan
dan pola hujan yang mengakibatkan
pergeseran awal musim
dan periode masa tanam. Penurunan curah
hujan telah menurunkan potensi satu periode masa tanam padi (Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007). Dampak perubahan
pola hujan diantaranya mempengaruhi waktu dan musim
tanam, pola tanam, degradasi lahan, kerusakan tanaman dan produktivitas, luas
areal tanam dan areal panen, serta perubahan dan kerusakan keanekaragaman
hayati.
4. Makin Meningkatnya Intensitas Kejadian Iklim Ekstrim
(Anomali Iklim)
Seperti El-Nino dan La-Nina.
Perubahan
siklus hidrologi terutama ditunjukkan oleh periode La-Nina dan El-Nino yang
semakin sering. La-Nina merupakan fenomena alam yang ditandai dengan kondisi
suhu muka laut di perairan Samudra Pasifik ekuator berada di bawah nilai
normalnya (dingin), sementara kondisi suhu muka laut di perairan Benua Maritim
Indonesia berada di atas nilai normalnya (hangat). Kondisi suhu muka laut di
samudra pasifik yang dingin menimbulkan tekanan udara tinggi, sementara kondisi
hangat perairan Indonesia yang berada di sebelah barat pasifik menimbulkan
tekanan udara rendah. Kondisi ini menyebabkan mengalirnya massa udara dari
pasifik ke wilayah Indonesia. Aliran tersebut mendorong terjadinya konvergensi
massa udara yang kaya uap air. Akibatnya semakin banyak awan yang
terkonsentrasi dan menyebabkan turunnya hujan yang lebih banyak di daerah
tersebut (lebih dari 40 mm/bulan di atas rata-rata normalnya). Kebalikan dari
La-Nina adalah El-Nino ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik menghangat
dan menyebabkan terjadinya musim kemarau yang kering dan panjang di Indonesia.
Penurunan curah hujan pada saat El-Nino dapat mencapai 80 mm/bulan (Boer 2002).
Bencana
kekeringan sering terjadi di Indonesia. Hasil
pengamatan jangka panjang
menunjukkan bahwa terjadinya musim kemarau panjang akibat adanya fenomena anomali iklim global El-Nino pada umumnya
terjadi secara periodik setiap 5 tahun sekali (Bey et
al., 1992). Pada tahun El-Nino 1991, 1994, 1997 dan 2003 luas
pertanaman tanaman padi telah mengalami kekeringan berturut-turut seluas 868
ribu ha, 544 ribu ha, 504 ribu ha dan 568 ribu ha dengan luasan gagal panen
(puso) masing-masing seluas 192 ribu ha (22%), 161 ribu ha (30%), 88 ribu ha
(18%) dan 117 ribu ha (21%). Penurunan luas panen karena kekeringan tersebut
mengakibatkan penurunan produksi atau kehilangan hasil pada tahun 1991 diperkirakan
mencapai 1,455 juta ton GKG atau setara dengan 0,873 juta ton beras, sedangkan
pada tahun 1994 dan 1997 menyebabkan kehilangan hasil 640 ton GKG (Jasis dan Karama,
1998).
Kekeringan merupakan faktor lingkungan utama yang dapat
menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan produksi bergantung pada besarnya
tingkat cekaman yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman ketika mendapat
cekaman kekeringan. Pada periode cekaman kekeringan yang panjang akan mempengaruhi
seluruh proses metabolismeme di dalam sel dan mengakibatkan penurunan produksi
tanaman.
Pada
saat terjadi kekeringan, sebagian stomata daun menutup sehingga terjadi hambatan masuknya CO2 dan menurunkan
aktivitas fotosintesis. Selain menghambat aktivitas fotosintesis, cekaman
kekeringan juga menghambat sintesis
protein dan dinding sel (Salisbury and Ross, 1995). Pengaruh cekaman kekeringan
tidak saja menekan pertumbuhan dan hasil bahkan menjadi penyebab kematian
tanaman.
Penurunan
laju fotosintesis akibat cekaman kekeringan, merupakan kombinasi dari beberapa proses,
yaitu : (1) penutupan stomata secara hidroaktif mengurangi suplai CO2
kedalam daun, (2) dehidrasi kutikula, dinding epidermis, dan membran sel mengurangi
permeabilitas terhadap CO2, (3) bertambahnya tahanan sel mesofil
terhadap pertukaran gas, dan (4) menurunnya efisiensi sistem fotosintesis
berkaitan dengan proses biokimia dan aktifitas enzim dalam sitoplasma. Dimana
dalam proses fotosintesis terdapat proses hidrolisis yang memerlukan air.
Sedangkan
La-Nina menyebabkan kerusakan tanaman akibat banjir, dan meningkatkan
intensitas serangan hama dan penyakit. La-Nina menyebabkan kelembaban dan curah
hujan tinggi yang disukai oleh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pada daerah
rawan banjir, kehadiran La-Nina menyebabkan gagal panen akibat terendamnya
tanaman. Pengaruh kelebihan air terhadap tanaman akan lebih sensitif pada
tanaman muda dibandingkan tanaman dewasa (Syarifuddin, 2011). Jasis dan
Karama (1998) menyatakan, banjir menyebabkan kehilangan hasil tanaman padi
sebesar 214 ton GKG per tahun.
5. Naiknya Permukaan Air Laut.
Dampak naiknya muka
air laut di
sektor pertanian terutama
adalah penciutan lahan
pertanian di pesisir pantai, kerusakan
infrastruktur pertanian, dan
peningkatan salinitas yang
merusak tanaman (Las, 2007).
Selain
akan menciutkan luas lahan pertanian akibat terendam air laut, peningkatan
permukaan air laut juga akan meningkatkan salinitas (kegaraman) tanah sekitar
pantai. Salinitas pada tanah bersifat racun bagi tanaman sehingga mengganggu
fisiologis dan fisik pada tanaman, kecuali tumbuhan laut dan pantai atau
varietas adaptif. Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan
logam berat, terutama Fe dan Al. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai
garis dan hamparan pantai yang sangat panjang, sehingga penciutan lahan
pertanian akibat peningkatan permukaan air laut menjadi sangat luas (Direktorat
Pengelolaan Air, 2009).
Pengaruh
garam terlarut terhadap tanaman adalah melalui osmotik karena konsentrasi garam
yang tinggi menyulitkan tanaman menyerab air. Akar tanaman memiliki membran
semi permeabel yang melalukan air tapi tidak dapat melewatkan hampir semua
garam terlarut. Jadi air secara osmotik semakin sulit diperoleh tanaman dengan
semakin meningkatnya kadar garam larutan tanah. Tanaman yang tumbuh pada media
salin pada tingkat tertentu dapat meningkatkan kosentrasi osmotik internalnya
melalui produksi asam-asam organik atau peningkatan serapan garam. Proses ini
disebut sebagai penyesuaian osmotik (osmotic
adjusment). Pengaruh salinitas terhadap tanaman nampaknya berupa perubahan
energi dari proses pertumbuhan menjadi untuk mempertahankan perbedaan osmotik.
Salah satu proses pertama adalah deversi energi pertumbuhan untuk perpanjangan
sel. Jadi, untuk dapat mempertahankan perbedaan osmotik, sel jaringan daun
membelah tetapi tidak menyebabkan pemanjangan. Gejala terjadinya pertambahan jumlah
sel tapi tidak diikuti dengan perpanjangan sel dikarenakan adanya stres osmotik
ini adalah terjadinya warna daun yang menjadi hijau gelap (Anwar dan Sudadi,
2007).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, S., Sudadi, U. 2007. Kimia Tanah.
Departemen Ilmu dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Bey, A., H. Pawitan, I. Las, B.
Tjasyono, and F. Winarso. 1992. Evaluation of Indonesian climate
and anticipation of dry season.
Prosiding Seminar Nasional Antisipasi
Iklim 1992 dan Dampaknya
terhadap Pertanian Tanaman Pangan.
PERHIMPI- Badan Litbang Pertanian.
Boer, R. 2002. Analisis Resiko Iklim Untuk
Produksi Pertanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.
Direktorat Pengelolaan Air. 2009.
Pedoman Umum Sekolah Lapang Iklim. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan
Air, Departemen Pertanian. http://pla.deptan.go.id/pdf/11_PEDUM_SL_IKLIM.pdf.
[Diakses 15 Januari 2012].
Hamid, H. 2009. Recovery Konservasi dan
Rehabilitasi Tumbuhan Sebagai Strategi Mitigasi Global Warming. http://zaifbio.wordpress.com
/2009/07/07/recovery-konservasi-dan-rehabilitasi-tumbuhan-sebagai-strategi-mitigasi-global-warming/.
[Diakses 16 Januari 2012].
Hawker, J.S., and Jenner, D.F. 1993.
High temperature affects the activity of enzymes in committed pathways of
starch synthesis in developing wheat endosperm. Aust. J. Plant Physiol. 20:197-209.
Jasis dan Karama, A. S.
1998. Kebijakan Departemen Pertanian Dalam Mengantisipasi Penyimpangan
Iklim. Prosiding Stategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La Nina dan
El-Nino. Kerjasama PERHIMPI dengan Jurusan GEOMET-IPB Puslittanak dan
ICSEA.
Kobata,
T. and Uemuki N. 2004. High tempetures during the grain-filling period do
not reduce the potential grain dry
matter increase of rice. Agron. J. 96:406-414.
Las, I. 2007. Pembingkaian Diskusi Panel
dan Penelitian Konsorsium Perubahan Iklim. Presentasi Round Table Discussion.
Tim Pokja Anomali
Iklim. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Las, I. 2007. Strategi dan Inovasi
Antisipasi Perubahan Iklim (bagian 1). Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan
Pertanian. http://www.litbang.deptan.
go.id/artikel/one/186/pdf/Strategi%20dan%20Inovasi%20Antisipasi%20Perubahan%20Iklim%20(bagian%201).pdf. [Diakses 15
Januari 2012].
Munawar, M. 2010. Pengaruh Efek Rumah
Kaca Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman. http://munawar.8m.net/rmh_kaca.htm.
[Diakses
16 Januari 2012].
Noordwijk, M. V. 2008. Agroforestri
Sebagai Solusi Mitigasi dan Adaptasi Pemanasan Global: Pengelolaan Sumber Daya
Alam Yang Berkelanjutan Dan Fleksibel Terhadap Berbagai Perubahan. World Agrofo
restry Centre, ICRAF-Southeast Asia. Bogor. http://worldagroforestrycentre.net/sea/Publications/files/bookchapter/BC0277-08.PDF.
[Diakses 16 Januari 2012].
Rahayu,
S. 2007. Perubahan
Iklim dan Kemiskinan:
Bagaimana nasib petani
kecil Indonesia kedepan, Kongres
Ilmu Pengetahuan Nasional
IX (KIPNAS-IX). Jakarta.
Runtunuwu, E dan Syahbuddin, H. 2007.
Perubahan Pola Curah Hujan dan Dampaknya Terhadap Periode Masa Tanam. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor.
Salisbury, F. B.
and C.W. Ross. 1995.
Fisiologi Tumbuhan, Jilid I. Penerbit ITB, Bandung.
Syarifuddin, M. 2011. Dampak Perubahan Iklim Bagi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Program Studi Manajemen Pertanian lahan Kering Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Kupang. http://programs
tudimplk.blogspot.com/2011/05/dampak-perubahan-iklim-bagi-pertumbuhan.html. [Diakses 16 Januari 2012].
Tang, R. S., Zheng, J. C.
and Zhang, D. D. 2006. The effects of high temperatures on pollen vitality and
seed setting of different rice varieties. Jiangsu J. Agric. Sci. 22:369-373.
Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Dampak
Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian, Serta Strategi Antisipasi dan
Teknologi Adaptasi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Bogor. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/ip012086.pdf
[Diakses
16 Januari 2012].
United Nations Development Programme
Indonesia. 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim, Mengapa Indonesia Harus Beradaptasi
Untuk Melindungi Rakyat Miskin. Jakarta. http://www.undp.or.id/pubs/docs/UNDP%20-%20Sisi%20Lain%20Perubahan%20Iklim%20ID.pdf
[Diakses 15 Januari 2012].
Weerakoon, W. M. W.,
Maruyama, A. and Ohba, K. 2008. Impact of humidity on temperature induced grain
sterility in rice (Oryza sativa L).
J. Agron. and Crop Sci. 194:135-140.
Zakaria,
S., Matsuda, T. and Nitta, Y. 2002. Effect of high temperature at ripening stage on the reserve
accumulation in seed in some rice cultivars. Plant Prod. Science.
4:160-168.
Zakaria, S. 2005. Effect of temperature
in ripening stage on the appearance of nucellar epidermis and reserves accumulation
in endosperm of rice (Oryza
sativa L.). Jurnal Agrista.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar