Sabtu, 31 Desember 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN BIDANG TEKNOLOGI PERBENIHAN

SEJARAH PERKEMBANGAN BIDANG TEKNOLOGI PERBENIHAN

LuarNegeri
Ditinjau dari segi sejarahnya bidang Teknologi Benih merupakan salah satu bidang yang masih muda di dalam agronomi. Di Amerika tercatat baru berkembang sesudah Perang Dunia ke II, sedangkan di Indonesia baru tumbuh pada tahun 1964. Dalam perkembangannya bidang Tekno­logi Benih di dahului oleh bidang Analisis Benih. Stasiun Analisis Benih yang pertama didirikan di Saxony (Jerman) lebih dari seratus tahun yang lalu yaitu sekitar tahun 1869. Stasiun lain juga telah cukup tua terdapat di Kopenhagen dan Zurich.
Dengan dilandasi oleh makin pesatnya perdagangan benih antar negara dan adanya ketidakseragaman standard pengujian benih pada masing-masing negara maka pada pertemuan antar laboratorium pengujian benih di tahun 1921 berdirilah suatu organisasi "The European Seed Test­ing Association". Kemudian pada pertemuannya yang ke-empat tahun 1924 di Cambridge diresmikanlah "The In­ternational Seed Testing Association" (ISTA) yang mempunyai semboyan "Keseragaman dalam pengujian". Organisasi ini beranggotakan negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara anggota menunjuk pejabat resmi yang mewakilinya dalam ISTA dan pejabat ini mengajukan laboratorium mana dinegaranya yang diajukan sebagai laboratorium anggota dalam ISTA yang harus mendapatkan persetujuan dari ISTA. Pertemuan-pertemuan ISTA diselenggarakan setiap tiga tahun. Di mana biasanya diadakan pula suatu simposium yang membahas kertas-kertas kerja dalam hubungannya dengan masalah benih. Hasil pertemuan tersebut dipublikasikan dalam "Journal of Seed Science and Technology". Pada tahun 1928 diadakan untuk pertama kalinya peraturan internasional dalam hal pengujian benih, yang mana baru diterbitkan tiga tahun kemudian yakni pada tahun 1931.
Berbagai ketentuan senantiasa diberi kesempatan untuk ditinjau kembali di dalam pertemuan-pertemuan ISTA. Tetapi hal ini sedikit banyak akan dapat menimbulkan keruwetan. Oleh karena itu pada tahun 1974 diadakan sistematika baru dalam peraturan pengujian benih yang me-misahkan antara peraturan dasar dan peraturan tambahan. Dalam peraturan dasar tercakup prinsip-prinsip yang tidak mudah untuk diubah sedang dalam peraturan tambahan di muatkan penafsiran-penafsiran atau aturan pelaksanaan yang lebih mudah untuk diubah bilamana diperlukan.
Beberapa   hal   yang   menyebabkan   berdirinya   ISTA, yitu :
1.      Adanya keharusan moral untuk menyajikan benih yang sehat dan bersih (benih baik) dan sesuai dengan catatan sertifikatnya (benih benar) kepada petani. Hal ini mengingat bahwa benih merupakan salah satu sarana produksi dalam usahatani.
2.      Adanya ketidakseragaman baik dalam metoda maupun hasil pengujian benih antar laboratorium.
3.      Semakin meluasnya perdagangan benih antar negara.

Indonesia
Di Indonesia dengan didirikannya Departemen Pertanian pada tahun 1905, usaha pemerintah untuk mempertinggi produksi tanaman rakyat lebih diintensifkan antara lain dengan usaha penyebaran benih unggul khususnya padi, mendirikan kebun-kebun benih diberbagai tempat dan menyebarkan benih-benih hasil seleksi. Orientasinya adalah memperbaiki varitas yang ditanam rakyat. Di Yogya (tahun 1924) diadakan kebun benih Crotalaria," di Tosari (tahun 1927) kebun bibit kentang, di Krawang kebun benih padi, di Pacet kebun benih sayuran, di Pasuruan terdapat kebun benih buah-buahan dan lain-lain. Pada taraf ini usaha yang dilakukan hanya meliputi penyebaran benih dan produksinya. Dalam hal tanaman pangan lebih banyak bersifat penyuluhan, sedang dalam hal tanaman sayuran dan industri sudah lebih bersifat komersial. Bidang teknologi benih dapat lebih cepat dikembangkan apabila benih di tempatkan sebagai sarana produksi yang bersifat komersial.
Sesudah Indonesia merdeka usaha penyebaran benih unggul dilaksanakan oleh Jawatan Pertanian Rakyat Urusan Balai Balai Benih pada tahun 1957, dan di tahun 1960 dilakukan oleh Gabungan Pemancar Bibit sebagai penangkar lanjutan dari Balai Benih. Benih yang dihasilkan dari Balai Benih diperbanyak oleh Gabungan Penangkar Benih yang terdiri dari petani-petani penggarap. Hasil dari Gabungan ini dijual kepada Jawatan yang kemudian menjualnya kepa-da para petani yang dibina oleh Jawatan.
Sampai pada masa tersebut kalau diikuti perkembangan usaha pemerintah dalam membina masalah perbenihan dapat dikatakan belum berada dalam siklus teknologi be­nih yang sempurna. Karena baru meliputi segi produksi be­nih unggul semata dan didistribusikan langsung kepada petani, sedangkan tahap pengolahan, penyimpanan, peng-ujian dan kualifikasi benih berdasarkan tingkat mutu benih belum terdapat dalam siklus ini. Demikian pula komer-sialisasi benih atas dasar mutu tidak tampak pula.
Pada tahun 1969 mulailah dirintis adanya proyek be­nih oleh Direktorat Pengembangan Produksi Padi Direk-torat Jenderal Pertanian Departemen Pertanian yang bertu-juan untuk menjamin benih yang bermutu tinggi secara kon-tinyu. Dan pada tahun 1971 dibentuklah Badan Benih Nasional yang mempunyai tugas pokok merencanakan dan merumuskan kebijaksanaan dibidang perbenihan. Berbicara mengenai penggunaan benih, sebenarnya kesadaran petani kita untuk menggunakan benih unggul sudah cukup tinggi. Tetapi hal ini masih harus ditingkatkan lagi dengan kesadaran berbenih unggul yang ber­mutu baik dan benar, di mana pembinaannya melalui program Sertifikasi Benih.
Agar sertifikasi benih benar-benar menemui sasaran-nya maka hendaknya dapat didasarkan atas hasil-hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Kepentingan untuk memenuhi perkembangan bidang teknologi benih dari hampir berorientasi pada varitas unggul semata menjadi berorientasi pula pada benih yang baik dan benar, mendesak untuk diciptakannya suatu metoda, substrata, kondisi lingkungan, alat-alat dan evaluasi yang serba terstandardisasi. Peranan teknologi benih khususr nya dalam pengujian dapat menghasilkan suatu standard kualifikasi benih bagi berbagai tingkatan mutu benih. Stan­dard evaluasi untuk menentukan kualifikasi benih secara obyektif menjadi problema utama bagi penelitian dan bi-dang Teknologi Benih di negara kita dewasa ini.



TEORI KESEJAJARAN SADJAD


Benih sebagai Penunjuk Tataran Budaya Tani. 
Pengertian tentang benih seperti diuraikan sebelumnya menunjukkan batasan-batasan dengan teknologi yang meningkat, dari tingkatan yang sangat sederhana sampai yang sangat canggih. Dinamika tek­nologi ini diantisipasi dalam pengembangan perbenihan baik dalam identitas genetik tanamannya, karakteristik fisiologisnya, segi-segi mutunya, dan dalam status benih sebagai sarana produksi. Terjadilah kesejajaran pada setiap tataran unsur-unsur itu sehingga pada taraf teknologi tertentu, pencapaian tingkatan identitas genetik, mutu fisiologis, dan statusnya sebagai sarana produksi, juga sampai taraf tertentu.
Batasan benih yang kita buat dinamik atau progresif seperti di­uraikan di atas, ternyata sejajar dengan tataran budaya tani yang berkembang dari budaya manusia purba pengembara sampai manusia modern di ruang angkasa. Teori Kesejajaran itu dapat menjadi pegangan orang benih untuk menempatkan pemikirannya pada batasan pengertian benih dan pada tempat yang proporsional, maupun pegangan untuk pengembangan Ilmu dan Teknologi Benih sendiri. Setiap taraf seperti duduk pada etikanya masing-masing.

Pengembangan Budaya Tani. 
 Sejarah budaya tani menunjukkan bahwa kehidupan bertani diawali oleh hasrat sekelompok manusia untuk bermukim di suatu tempat. Usaha manusia untuk mempertahankan hidup dengan lembing dan panahnya di hutan belantara berubah sejak budaya tani lahir dengan pemukimannya yang menghendaki budidaya tanaman dengan pengelolaan yang lebih tekun. Sistem ladang berpindah merupakan transisi budaya tani dari pengembaraan total ke domestikasi tani.
Budaya itu kalau kita ikuti terus nampaknya berkembang dari sistem domestikasi tertutup, terbuka, globalisasi, dan bahkan sekarang seperti kembali pada pengembaraan manusia tetapi di ruang angkasa yang mungkin nantinya berakhir pula sampai ke bentuk pemukiman dengan budaya tani pula. Bedanya barangkali kalau dulu di rimba raya, tetapi di masa depan di ruang angkasa raya. Dengan pragmatisme batasan pengertian benih dan Teori Kesejajaran mungkin dapat dibayangkan bahwa tataran ruang angkasa itu sebagai tahapan sesudah tataran bioteknologi. Dalam tulisan 10-15 tahun silam penulis ternyata belum dapat mencantumkan tataran bioteknologi sesudah tataran teknologi.
Progresivitas yang ditunjukkan pada alur pikir batasan benih ternyata inspiratif sejajar pula dengan perkembangan budaya tani manusia. Manusia mana akan bisa mengenal benih, kalau mereka hanya sebatas mengambil buah yang bisa dimakan di hutan, tanpa kepedulian sama sekali terhadap bagaimana spesies tumbuhan itu bisa tumbuh begitu subur. Nalurinya mungkin didapatkan dari melihat kera-kera bergantungan di pohon sambil menikmati buah-buahnya yang sedang masak.
Mereka mungkin lalu mengenal biji yang ada dalam buah itu yang sesudah terlempar ke tanah, bisa tumbuh menjadi tumbuhan yang serupa dengan yang membuahkan sumber makanannya. Kalau kebetulan bijinya yang menjadi sumber pangan, tentunya timbul saingan kepentingan antara sumber pangan dan sumber penerus spesies tumbuhan. Mulailah ada rangsangan berpikir untuk menyisihkan biji yang dimakan untuk cadangan menumbuhkan spesies sumber pangannya. Bukankah pada taraf ini manusia berada di awal tahapan mengenal benih? Dari manusia yang tidak mengenal biji kemudian mengenalnya yang bisa tumbuh, lalu mengenal sebagai biji yang dapat ditumbuhkan, dan akhirnya sebagai benih yang bisa ditanam. Upaya manusia ini membudaya dan pasti diikuti dengan upaya teknologi untuk mendapatkan sarananya, sesederhana apa pun teknologi itu. Menyisihkan biji dari buah memerlukan suatu teknologi meski hanya menggunakan keandalan jari-jarinya. Kalau dirasa kukunya kurang tajam, maka diperlukan kayu atau bambu yang tajam. Begitulah teknologi benih berkembang dari taraf yang sangat sederhana.

Mulainya Budaya Tani.  
Kalau kenyataan itu terpantau oleh nenek moyang mulailah mereka berpikir ke arah efisiensi dan tentunya pada langkah pertama, akan mengurangi jarak mereka berkelana dan mendekati sumber makan yang bisa dikumpulkan. Berkelana jauh yang mengandung lebih banyak risiko dan memerlukan banyak tenaga mulai dikurangi intensitasnya. Bertempat tinggalnya di potion-pohon menjadi makin lama, apalagi kalau umur mereka makin bertambah dan tenaganya makin berkurang.
Sementara itu mereka makin banyak tahu tentang biji tumbuhan yang bisa dimakan yang tergolong biji jenis padi-padian. Mulai tersingkaplah budaya tani, meskipun sesudah menanam benih mereka tinggalkan ladangnya tanpa pemeliharaan. Teknologi Benih lahir mendahului budaya tani sendiri. Budaya tani mulai lahir tetapi budidaya tanaman belum mereka kuasai. Oleh karena itu, benih adalah awal budaya tani. Mereka kenal tanaman dari tumbuhan melalui bijinya yang diupayakannya untuk menjadi benih. Mereka mulai mengenal benih sama dengan biji pada taraf itu, dan budaya mereka setatar dengan batasan pengertian struktural benih, yaitu benih dan biji sama. Dalam budaya tani selanjutnya dengan teknologi yang sedikit lebih dikembangkan, manusia kemudian menyisihkan benih dari biji. Mulai dibedakan status benih dari biji. Budaya tani demikian setatar dengan batasan pengertian benih yang membedakan benih dari biji secara fungsional. Ternyata dalam pengembangan kerangka pikir Teknologi Benih, perbedaan fungsional benih dari biji itu sangat mendasar. Dari dasar pikiran ini dan selalu mengacu pada Teori Kesejajaran, penulis selanjutnya berupaya mengembangkan Ilmu dan Teknologi Benih di Indonesia. Bahkan secara inspiratif digunakan untuk mengamati perkembangan pertanian pada umumnya.

Pengertian benih untuk melihat maju kedepan.  Secara matematik, apabila sudah didapatkan dua titik maka bisa ditarik suatu garis lurus. Garis lurus yang menghubungkan progresifitas batasan pengertian benih itu sejajar dengan garis lurus yang ditarik antara dua titik tataran dinamika budaya manusia dalam pertanian. Itulah yang disebut Teori Kesejajaran Sadjad. Dari sini pula benih-dialektika tumbuh untuk mengembangkan Ilmu dan Teknologi Benih. Di samping tataran unsur dalam Ilmu dan Teknologi Benih yang harus bisa disebutkan, tataran budaya tani harus bisa juga ditemukan lebih lanjut. Sesudah manusia merasa lebih efisien dan untung dengan lebih lama bermukim yang akhirnya menetap di suatu tempat, yang konsekuensinya harus mampu membudidayakan tanamannya, maka manusia kemudian mengenal lahan untuk dikelola. Karena manusia mulai bermasyarakat yang tentu memegang etika dalam saling hidup menghidupi, maka lahan pengelolaannya harus jelas batasnya. Semula batas lahan itu harus jelas bagi pemilikan sekelompok masyarakat, kemudian harus menjadi jelas juga bagi masing-masing individu. Oleh karena itu, mereka mulai memberi ciri untuk batas lahannya. Tanah di lahan itu harus dikelola sedemikian rupa sehingga benih yang ditanamnya bisa tumbuh dengan baik. Dari berkelana asal bisa hidup, kemudian mulailah mereka menanam dengan itikad asal berproduksi. Sesudah mereka mampu mengembangkan teknologi dalam mengelola lahan, orientasinya men­jadi bagaimana bisa mencapai hasil yang sebanyak-banyaknya dari lahan yang sudah jelas batas-batas pemilikan atau hak penggunaannya.
Taraf pengelolaan lahan dan orientasinya dalam berproduksi itu merupakan ciri agronomi. Inilah titik baru yang ditemukan dari dialek­tika Teori Kesejajaran itu. Titik baru dalam budaya tani ini harus mendorong ditemukan pula titik tataran budaya benih baru dalam dialektika ruang pikir Teknologi Benih yang sejajar dengan tataran agronomi pada budaya tani.

Lahirnya agronomi dan mutu benih.  
Pada tataran itu benih tidak sekadar biji yang dikehendaki bisa tumbuh kalau ditanam, tetapi benih itu harus tumbuh secara normal sesuai waktu yang mereka kehendaki. Iklim mendesak mereka untuk berpikir demikian, karena budaya tani beragronomi bukan sekadar budaya tani seperti pada tataran sebelumnya, dan terikat pada musim untuk berproduksi sebanyak-banyaknya. Benih yang lama tumbuhnya dalam tanah tidak dikehendaki oleh budaya tataran itu.
Demikian juga benih yang cepat membusuk, baik sesudah ditanam, maupun dalam periode simpan sebelum ditanam, tidak dikehendaki. Mulailah budaya demikian mengetahui tentang mutu benih. Dari hanya mengenal benih yang berupa biji, dialektika ilmu mengajarkan kita untuk berpikir ke mutu benih.

Benih dengan mutu. 
Titik tataran ini kalau disejajarkan dengan garis tataran budaya tani, akan setaraf dengan budaya tani agronomi berteknologi madya dan benih yang memiliki mutu itu merupakan sarana produksi yang digunakan oleh manusia agro­nomi untuk mencapai produk semaksimal mungkin. Budaya tani non-agronomi dengan benih yang tidak mengenal mutu (nonmutu) meningkat menjadi budaya tani beragronomi yang berteknologi madya. Orientasinya pun meningkat dari asal berproduksi menjadi berproduksi maksimal. Dialektika budaya tani ternyata pula sejajar dengan dialektika dalam benih sendiri.
Mutu benih di taraf ini baru terpusat kepada mutu benih secara fisiologis. Artinya, mutu yang lebih diukur dari kemampuan benih berproduksi normal pada kondisi yang serba normal pula. Dalam taraf mutu ini, benih seolah hanya dihadapkan pada kondisi lapang produksi yang serba normal. Tingkat agronominya juga masih belum banyak menemui tantangan keadaan lingkungan. Kemurnian dan homogenitas genetik belum begitu lanjut, dan keragamannya itu belum mengganggu tingkat produksi. Pasar pun masih menerima kondisi demikian karena bagi konsumen baik jumlah maupun tuntutan untuk kualitas belum dirasa mendesak. Tingkat industri pun belum menuntut keseragaman produk yang jauh. 
Pada tataran ini meskipun budaya tani sudah mengenal mutu benih, tetapi belum dalam konteks Teknologi Benih. Kultivar hasil pemuliaan atau seleksi sudah dikenal konsumen benih secara meluas, yang pada tataran sebelumnya hanya mengenal spesies. Namun, mutu benih itu kalau sudah menjadi tuntutan baru dikenal atas dasar informasi individual atau institusional, belum dijabarkan ke dalam informasi yang dibakukan berupa bentuk suatu sertifikat mutu. Benih sebagai produk teknologi memang sudah terwujud pada taraf ini, tetapi komersialisasinya belum lanjut dan kebenaran mutu belum baku sesuai prosedur program sertifikasi benih.

Keseragaman produk. 
Keseragaman produk makin lama makin menjadi tuntutan. Agronomi yang semula tidak begitu intensif menggunakan sarana teknologi produksi kemudian mengejar produk yang maksimal dengan mutu yang seragam. Demi meningkatkan efisiensi, metode pengelolaannya juga menuntut keseragaman alat maupun tindakan. Apalagi teknologi itu makin memperhitungkan waktu usaha yang dikehendaki seefisien mungkin. Dibalik itu budaya ini juga menuntut kelestarian baik lahan maupun manusia pengelolanya. Orientasi produksi maksimal perlu ditambahi dengan orientasi pelestarian.
Peralatan mekanis yang motoris makin meminta permodalan yang lebih tinggi, sehingga lebih lagi mereka dituntut akan efisiensi dan kemampuan menghasilkan produk yang ekonomis. Satu titik lagi dalam tataran budaya tani ditemui. Titik itu kita namakan agronomi berteknologi maju atau modern yang menuntut tataran Tekno­logi Benih lebih maju setingkat lagi. Pada tataran budaya tani ini benih lebih bersifat komersial dan harus benar dalam segala infor­masi mutunya. Penilaian mutu harus objektif, informasinya pun harus bisa dibakukan dalam suatu sertifikat yang diakui legal berdasarkan perundangan yang berlaku. Prosedur sertifikasinya pun disesuaikan ketentuan internasional.

Mutu genetik benih.  
 Mutu fisiologi benih misalnya, tidak cukup hanya diinformasikan sebatas pertumbuhan benih pada kondisi optimum, tetapi harus bisa mengidentifikasikan keseragaman pertanaman pada kondisi suboptimum sekalipun. Meskipun budaya tani dengan teknologinya telah berhasil untuk menyeragamkan keadaan lahan yang dikelolanya, tetapi mutu benih paling menoniol sebagai penentu keseragaman pertanaman dan produk. Dari semboyan "one seed-one plant\ menjadi "one lot-one stand'.
Identitas genetik lalu menjadi utama pada taraf budaya tani ini, apalagi setelah era hibrida jagung lahir. Orang-orang benih berposisi menjadi perpanjangan tangan pemulia tanaman yang telah menghasilkan kultivar hibrida dengan sifat-sifat yang unggul dan seragam. Pada batasan pengertian benih sampailah pada titik tataran yang disebut dengan batasan teknologi. Kesejajaran itu didapati pula antara tataran pada Teknologi Benih atau budaya benih dan tataran budaya tani yang telah mencapai taraf agronomi teknologi plus. Bidang Analisis Benih menjadi lebih lagi berperan dan benih sebagai produk teknologi benar-benar berada dalam konteks Teknologi Benih yang mendambakan produk benih yang baik dan benar dalam segala unsur mutunya.

Benih produk teknologi. 
Sudah empat titik pada masing-masing tataran budaya benih dan budaya tani yang menggambarkan dua garis yang sejajar. Benih yarig harus lahir dari pragmatisme teknologi dalam proses produksinya dari penyiapan lahan sampai dalam kemasan pemasaran menekankan sekali pada jaminan mutu genetik, sehingga apa yang sudah dihasilkan oleh para pemulia tanaman tidak hilang begitu saja. Teknologi itu tidak saja untuk membenahi sistem produksi benih di lapang, tetapi juga di proses pengolahan benih yang dilaksanakan sesudah panen. Persilangan liar yang bisa terjadi sewaktu benih itu diproduksi di lapang harus dicegah semaksimal mungkin. Apalagi dalam proses produksi benih varietas hibrida yang proses penyilangannya sangat terkontrol. Pemanenan harus dilakukan pada waktu dan kondisi iklim yang setepat-tepatnya sehingga mutu fisiologis benih yang dihasilkan kan bisa mencapai maksimum.
Semua usaha itu untuk memenuhi apa yang diharapkan konsumen benih, ialah apa yang dihasilkan nantinya benar-seperti apa yang diinginkan. Konsumen juga menghendaki perwujudan fisik benih yang bersih. Oleh karena itu, lahirlah peralatan  pengolahan benih yang makin bisa melakukan proses pembersihan benih dan pemilahan benih secara sempurna.
Produk yang homogen, jelas kualitas, tepat dalam kuantitas dan kontinuitas pemasokan, menjamin kesinambungan proses industri yang harus selalu mengingat kapasitas terpasang mesin-mesinnya. Jaminan demikian merupakan nilai tambah bagi industri dan nilai tambah ini harus berdampak pula bagi tataran benih yang sudah berteknologi maju.
Upaya serba homogen demikian bukan tidak menimbulkan masalah. Keragaman genetik tentu menjadi sempit. Hal ini meresahkan kalangan genetisis. Musibah alami bisa terjadi dan varietas yang sangat bersifat biohomogen yang genetik sangat seragam akan tidak mampu menahan musibah itu.

Budaya tani rekayasa genetika. 
Tahapan perkembangan budaya tani yang semula berorientasi pada lahan yang bertanah dan sumber energi matahari, kemudian lebih pada lahan yang non-tanah. Budaya tani yang mengandalkan teknologi canggih ini dapat melahirkan bentuk tanaman yang lain dari pada yang kita miliki sekarang. Tanaman yang bahkan begitu efisiennya memanfaatkan unsur di udara tanpa menyentuh tanah sama sekali, suatu tahapan aeroponik yang lebih maju lagi dari hidroponik. Tanaman itu akan mengikuti keinginan manusia yang sudah tidak punya waktu untuk menikmati pandangan mata atau rasa, baik di hati maupun di mulut, seperti lazimnya kita alami sekarang.
Tanaman yang berkembang dari biologi seluler ini akan sangat efisien tumbuhnya dan sangat spesifik memenuhi kebutuhan manusia. Tanaman macam itu akan sangat seragam dan sangat cepat berproduksi. Tataran budaya tani yang berkaidah rekayasa genetik dan pembiakan mikro sejajar dengan tataran budaya benih produk manufaktural. Benih artifisial demikian akan lahir dari sebuah pabrik, bukan dari lahan pertanian, dan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tanaman mini di dalamnya tidak lagi embrional. Titik kelima ini mungkin bagi sementara kita masih berupa imajinasi, tetapi bagi sementara negara maju sudah bukan kemustahilan lagi. Benih artifisial itu membutuhkan penilaian mutu yang akan lain dari pada mutu benih konvensional. Sangkutannya dengan etika juga akan lain. Benih demikian akan banyak diukur atas dasar energi yang dikonsumsi untuk memproduksi dan efisiensi untuk peitanaman berproduksi selanjutnya.

Benih transit energi.    
 Pada titik kelima batasan pengertian benih sebagai wahana bioteknologi, benih lebih dipandang sebagai tumpuan energi yang secara efisien sekali tersimpan sampai suatu ketika dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Transit energi itu harus tetjadi mulus. Untuk kepentingan tataran budaya tani yang canggih, maka energi yang ada di benih harus secara efisien dihimpun dan penggunaannya pun sangat diperhitungkan karena semuanya tidak harus bersumber pada energi matahari. Tataran budaya benih perlu menyiapkan diri untuk sampai pada tahapan itu. Untuk itu dialektika pengembangan ilmu selalu harus ditekankan, sampai-sampai pula benih siap untuk budaya tani di ruang angkasa yang memiliki gravita mikro. Barangkali budaya tani yang berupa tani ruang angkasa akan menjadi budaya tani tataran ke enam yang sistem konsumsi energinya akan sangat berbeda.

Kesejajaran dengan aspek pembinaan
Garis batasan pemikiran benih yang sementara ini terdiri dari lima titik bisa pula disejajarkan dengan dinamika pembinaan mutu benih. Adanya sertifikasi benih yang diawalkan pada titik batasan pengertian benih sebagai wahana teknologi disebabkan karena identitas genetik yang baru dapat diinformasikan secara jelas pada tataran itu. Pada tahapan tataran agronomi yang menempatkan benih sebagai sarana produksi, pembinaan mutu benih belum sampai pada program sertifikasi. Pada tataran ini dorongan petani untuk membeli benih belum atas dasar informasi mutu yang tertulis pada sertifikat. Cukup dari label pada kemasan tanpa jaminan pihak ketiga melalui program sertifikasi. Demikian juga taraf komersialisasi benih belum maju, sehingga benih belum dihargai sesuai dengan usaha pemuliaan yang menghasilkan keunggulan sifat genetik. Benih sudah memiliki label yang memberikan informasi mutu, tetapi informasi itu belum sepenuhnya memiliki nilai komersial dengan sanksi-sanksi terhadap kepalsuannya. Pada taraf itu benih baru setingkat sebagai sarana produksi yang menunjang program peningkatan produksi. Kepercayaan pada mutu benih lebih ditonjolkan pada kepercayaan kepada integritas produsen benih, baik kepercayaan pribadi maupun kelembagaan. Bahkan benih masih lebih merupakan sarana penyuluh-an daripada sebagai komoditi.
Dengan aspek komersialisasi benih yang dicerminkan oleh program sertifikasi terjadi pula kesejajaran dalam pembinaan. Pembinaan mutu untuk suatu daerah pertanian tertentu atau komoditi tertentu harus memperhatikan pada titik mana atau batasan mana benih itu dimengerti oleh masyarakat. Pembinaan itu akan tidak efektif kalau titik itu tidak pada tataran yang sama.
Aspek lain yang bisa dicari titik-titiknya sehingga dapat ditarik garis yang sejajar, misalnya pada orientasi petani, usaha teknologi dalam perbenihan, perkembagan spesies tanaman, bahkan usaha riset dalam Ilmu Benih sendiri. Dalam hal yang disebut terakhir ini seseorang yang berkecimpung di bidang benih akan bisa kecewa dan menjadi tidak produktif dalam masyarakatnya, kalau kerangka pemikiran benihnya berada pada taraf yang tidak sejajar dengan tataran budaya tani yang ada. Apalagi kalau tataran teknologi harus berbenturan dengan etika budaya yang belum mencapai taraf itu. 
Teori Kesejajaran Sadjad nampaknya masih harus dipantau terus baik dalam mencari kegunaan untuk pembinaan atau pun untuk menyerasikan dengan riset di bidang Ilmu dan Teknologi Benih.

Matrix Teori Kesejajaran.   
Dalam matrix, Teori Kesejajaran dapat digambarkan  sebagai tercantum pada Tabel 1. Tataran budaya  dijabarkan dari Tingkat I yang masih berkelana atau primitif, Tingkat II yang berupa tani non agronomi dengan teknologi yang sederhana, Tingkat III berupa agronomi dengan teknologi minim atau madya, Tingkat IV agronomi dengan teknologi plus atau modern dan Tingkat V budaya tani dengan kaidah bioteknologi non agronomi yang berteknologi canggih. Tataran status budaya tani sebagaimana telah diuraikan, sejajar dengan teknologi dalam pembudayaan benih dari tingkat teknologi minim, sederhana, madya, maju sampai canggih. Gambaran tataran teknologi itu sedikit banyaknya menggambarkan juga tataran industri benih apabila kualifikasinya didasarkan pada tingkat teknologi yang digunakan. Industri benih Tingkat I sangat minim teknologi, Tingkat II sudah memanfaatkan teknologi dalam pengeringan dan pembersihan yang mungkin sudah bersifat non alami, Tingkat III memanfaatkan mesin-mesin pengolahan benih termasuk untuk proses pemilahan, Tingkat IV sudah menghasilkan benih yang bersertifikat, dan Tingkat V sudah berteknologi canggih dan memiliki upaya penelitian dan pengembangan sendiri.
Dengan dasar Teori Kesejajaran dan apabila tataran budaya tani dihadapkan pada tataran teknologi industri benih, maka dapat digambarkan matrix untuk pembinaan perbenihan berbagai komoditi sebagai tampak pada Tabel 2. Untuk komoditi sayuran, bunga-bungaan yang sudah mempunyai budaya tani canggih misalnya, perlu dilayani oleh teknologi industri benih Tingkat V yang berteknologi canggih pula. Tetapi, ada kalanya pelayanan teknologi dalam perbenihan itu tidak memadai dan masih pada industri Tingkat II misalnya dalam hal komoditi Eucalypt yang diproduksi untuk menunjang industri pulp yang berbudaya tani sangat maju. Beberapa komoditi lain seperti padi sawah, yang berbudaya tani modern, tepat kalau dilayani oleh industri benih berteknologi taraf IV. Demikian juga untuk komoditi jagung hibrida. Apabila pada tataran budaya tani demikian, teknologi industri benih berada pada tataran Tingkat V maka harus ada usaha lebih memodernkan budaya taninya, misalnya dengan cara mengkonsolidasikan pengelolaannya. Sebaliknya apabila budaya tani padi ladang, dilayani oleh industri benih tataran IV atau V, industri benih menjadi terlampau berbiaya tinggi, karena budaya tani ladang masih pada tataran tingkat II yang sederhana. Dalam hal ini, kalau dipaksakan akan meminta subsidi pemerintah yang sangat besar. Misalnya subsidi dalam usaha pemuliaan, subsidi harga atau bentuk subsidi lainnya.
Dengan teori ini maka orang-orang benih perlu menempatkan pemikiran yang tepat, apakah kebijakannya serasi dengan tataran budaya tani yang ada pada masyarakat apabila hendak menerapkan pembinaan teknologinya dalam memproduksi benih, demikian pula dalam menerapkan legalisasi perundangan kalau itu dalam rangka pembinaan.
Dalam hal pengembangan perbenihan suatu spesies, perlu diingat pula apakah spesies itu sudah berada pada taraf kultivar atau masih belum jelas identitas genetiknya. Apabila belum dilakukan usaha pemuliaan atau seleksi sehingga spesies itu belum melahirkan kultivar atau tipe tanaman dengan sifat-sifat genetik yang jelas dan mantap, maka akan sukar untuk diterapkan program sertifikasi benih yang dalam matrix itu berada pada taraf industri benih tingkat IV. Kalau spesies semacam itu dibiakkan dengan teknologi canggih dan dihasilkan benih-benih artifisial misalnya, maka diperlukan prosedur sertifikasi yang tidak lazim berlaku bagi benih konvensional. Dalam hal ini dialektika orang benih perlu mengantisipasinya sehingga tidak terjadi kesenjangan antara budaya benih dan budaya tani.