REHABILITASI LAHAN TSUNAMI DALAM UPAYA MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS LAHAN
I. PENDAHULUAN
Gempa bumi dan tsunami yang memporak porandakan kawasan pantai barat dan
timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 26 Desember 2004
telah menimbulkan berbagai masalah yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk
mengatasinya. Cakupan persoalan jangka panjang untuk sektor pertanian meliputi
antara lain hilangnya sebagian lahan usahatani karena terendam air laut secara
permanen, rusaknya lahan usaha tani oleh erosi, meningkatnya kadar garam
(salinitas) tanah, rusaknya sistem irigasi dan drainase (Rachman
et al., 2008). Sedikitnya 120.000 ha
lahan rusak atau tergenang air laut dan sekitar 27,8% dari areal tersebut
merupakan lahan pertanian. Sampai saat ini, lahan pertanian yang rusak tersebut
banyak yang belum dimanfaatkan kembali secara optimal. Pemanfaatan dan
rehabilitasi lahan akan lebih efektif dan efisien bila mempertimbangkan kondisi
lahan dan tingkat kerusakannya (Shofiyati, 2006).
Bencana tsunami tidak
hanya menyebabkan kerusakan fisik terhadap bangunan, jalan, jembatan, sistem
sanitasi dan lainnya, tetapi juga menyebabkan tercemarnya lahan pertanian yang
disebabkan oleh intrusi air laut dan terendapnya lumpur berkadar garam tinggi
di atas permukaan tanah (Rachman et
al., 2008). Air laut mengandung garam yang tinggi (>500 me l-1),
terutama dalam bentuk NaCl, kombinasi basa-basa kation (K, Ca, Mg), sulfat,
bikarbonat dan klorin (anion). Apabila air laut ini menggenangi lahan pertanian
akan menyebabkan meningkatnya salinitas tanah. Bencana Tsunami tidak hanya
menggenangi lahan pertanian dengan air laut, tetapi juga mengendapkan lumpur
berkadar garam tinggi. Garam pada lumpur ini dapat terinfiltrasi ke dalam tanah
dan berpotensi untuk meningkatkan salinitas tanah di daerah perakaran, merusak
struktur tanah, dan mencemari air tanah (Cardon et al., 2003 dan Franzen, 2003).
Salinitas tanah
merupakan faktor pembatas penting pertumbuhan tanaman. Kadar garam yang tinggi
dalam larutan tanah akan menyebabkan osmotik potensial larutan dalam tanah
berkurang. Larutan akan bergerak dari daerah yang konsentrasi garamnya rendah
ke konsentrasi tinggi. Akibatnya akar tanaman kesulitan menyerap air, karena
air terikat kuat pada partikel-partikel tanah dan dapat menyebabkan terjadinya
kekeringan fisiologis pada tanaman.
Pada kondisi dimana
konsentrasi garam dalam larutan tanah sangat tinggi, maka air dari dalam sel
tanaman bergerak keluar, dinding protoplasma mengkerut dan sel rusak karena
terjadi plasmolisis. Selain tanaman harus mengatasi tekanan osmotik tinggi,
pada beberapa tanaman dapat terjadi ketidak seimbangan hara disebabkan kadar
hara tertentu terlalu tinggi, dan adanya bahaya potensial keracunan natrium dan
ion lainnya. Konsentrasi natrium yang tinggi dalam tanah yang ditunjukkan oleh
nilai ESP (exchangeable sodium percentage)
> 15 mengakibatkan rusaknya struktur tanah yang selanjutnya akan menghambat
perkembangan akar tanaman (FAO, 2005).
Rehabilitasi
diartikan sebagai suatu usaha pembenahan yang ditujukan kepada lahan yang telah
rusak, agar dapat dipergunakan kembali. Dengan
kata lain, upaya rehabilitasi
adalah upaya mengembalikan fungsi tanah agar bisa mendekati kondisi awal yang berkualitas dalam
kesuburan maupun sifat fisikanya. Rehabilitasi tanah terdegradasi dapat
ditinjau dari sifat tanah yang mengalami penurunan dan diupayakan dilakukan
perbaikan dengan menggunakan amelioran. Adanya campuran lumpur pasir laut
tersebut telah mengubah tingkat kesuburan tanah, hal ini memberikan dampak pada
kualitas dan hasil panen pasca tsunami. Untuk itu perlu adanya upaya
penanggulangan masalah tersebut dengan jalan melakukan rehabilitasi lahan
(Rachman et al., 2008).
II. DAMPAK KERUSAKAN
LAHAN AKIBAT TSUNAMI
Kerusakan lahan pertanian oleh tsunami sebagian besar terjadi
oleh beberapa faktor yaitu: Kegaraman (salinitas) dan sodisitas (kadar Na
tinggi), Endapan lumpur laut, Sampah dan puing-puing bangunan dan Rusaknya
infrastruktur irigasi/drainase, Air laut mengandung garam yang tinggi (>500
me l-1), terutama dalam bentuk NaCl, kombinasi basa-basa kation (K,
Ca, Mg), sulfat, bikarbonat dan klorin (anion). Apabila air laut ini
menggenangi lahan pertanian akan menyebabkan meningkatnya salinitas tanah.
Bencana tsunami di Aceh tidak hanya menggenangi lahan pertanian dengan air
laut, tetapi juga mengendapkan lumpur berkadar garam tinggi. Garam pada lumpur
ini dapat terinfiltrasi ke dalam tanah dan berpotensi untuk meningkatkan
salinitas tanah di daerah perakaran, merusak struktur tanah, dan mencemari air
tanah (Cardon et al, 2003 dan
Franzen, 2003).
Salinitas
menunjukkan kadar senyawa kimia yang terlarut dalam tanah. Tanah salin adalah
tanah yang mengandung senyawa organik seperti (Na+, Mg2+,
K+, Cl+, SO42-, HC03-, dan CO32-)
dalam suatu larutan sehingga menurunkan produktivitas tanah. Salinitas tanah
yang tinggi, akan merusak kesuburan tanah,
karena akan
mematikan organisme penyubur tanah seperti bakteri dan cacing tanah. Pada
wilayah pertanian maju cacing tanah diupayakan agar tetap hidup melalui
rekayasa lingkungan, sehingga mampu mengembalikan kesuburan tanah (Lines and
Kelly, 2000).
Berdasarkan
hasil analisis tanah Rachman et al. (2008), tanah yang terkena tsunami dapat digolongkan sebagai
tanah saline-sodic yang ditandai oleh
nilai ESP (exchangeable sodium percentage)
tanah > 15 % dengan pH < 8,5. Faktor utama penyebab meningkatnya nilai
ESP adalah terakumulasinya ion Na yang terbawa lumpur tsunami dalam konsentrasi
yang sangat tinggi (>1 cmolc kg-1) di permukaan tanah. Konsentrasi ion Na dalam
tanah yang tinggi akan merusak struktur tanah, mengganggu keseimbangan unsur
hara, dan menurunkan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman.
Menurut
Emerson dan Bakker (1973) dalam Rachman et al. (2008), tanah
mulai terdispersi pada kandungan Na tanah sekitar 5%. Makin tinggi kandungan Na
tanah, makin mudah tanah terdispersi. Partikel tanah yang telah terdispersi
akan bergerak menyumbat pori-pori tanah menyebabkan tanah memadat dan suplai
oksigen untuk pertumbuhan akar dan mikroba tanah menurun drastis. Infiltrasi
juga sangat terhambat menyebabkan sangat sedikit air yang masuk ke dalam tanah
dan sebagian besar tergenang di permukaan dan menyebabkan terjadinya
pelumpuran. Sangat sedikit tanaman yang dapat tumbuh jika kondisi tersebut
telah terjadi. Pertumbuhan tanaman terhambat, selain oleh jeleknya sifat fisik
tanah juga karena terbentuknya ion-ion beracun seperti Na+, OH-,
dan HCO3-.
Garam-garam
atau Na+ yang dapat dipertukarkan akan mempengaruhi sifat-sifat
tanah jika terdapat dalam keadaan yang berlebihan dalam tanah. penyerapan Na+ oleh partikel-partikel tanah
akan mengakibatkan pembengkakan dan
penutupan pori-pori tanah yang
memperburuk pertukaran gas, dispersi material koloid tanah, struktur tanah
serta pH tanah menjadi lebih tinggi karena kompleks serapan dipenuhi oleh ion Na+.
Menurut Achmad (2006), nilai pH dapat berpengaruh dalam dinamika unsur di dalam
tanah. pH tinggi menyebabkan ketersediaan unsur hara makro lebih tinggi dan ketersediaan
unsur hara mikro lebih rendah. Jika pH rendah berlaku sebaliknya, ketersediaan
unsur hara makro pada umumnya menurun dan unsur hara mikro tersedia berlebihan
sehingga dapat meracuni tanaman (Achmad, 2006).
Gelombang
tsunami juga membawa lumpur dari dasar laut yang kemudian mengendap di lahan
pertanian, sumur-sumur, kolam, cekungan, dan tempat-tempat lain. Ketebalan
lumpur bervariasi dari <5 cm sampai sekitar 20 cm. Makin jauh dari pantai
endapan lumpur makin halus dengan kandungan liat tertinggi sekitar 43% dan
terendah sekitar 8%. Selain mengandung garam-garam yang berpotensi meningkatkan
salinitas tanah, lumpur tsunami juga mengandung C organik dan kation-kation
seperti Ca, Mg, dan K yang tinggi sampai sangat tinggi. Dengan demikian apabila
konsentrasi Na dapat dikurangi melalui pencucian disertai dengan pemberian
amelioran tanah seperti gypsum atau pupuk organik, lumpur tsunami berpotensi
untuk memperbaiki kandungan C organik dan kation-kation tanah (Rachman
et al., 2008).
III. STRATEGI
REHABILITASI LAHAN TSUNAMI
Rehabilitasi
lahan pertanian akibat bencana Tsunami didasarkan pada tingkat kerusakan lahan
yang diakibatkan oleh salinitas, macam dan ketebalan endapan lumpur. Makin
berat kerusakannya, makin intensif pula rehabilitasi lahan yang harus
dilakukan. Selain itu rehabilitasi lahan juga harus mempertimbangkan jenis masalah
yang menyebabkan kerusakan lahan dan lumpuhnya kapasitas sistem usaha tani.
Rehabilitasi lahan akibat salinitas berbeda dengan lahan-lahan yang juga
memiliki masalah sodisitas, masalah endapan lumpur dan kerusakan infrastruktur.
Upaya rehabilitasi lahan tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
3.1 Pencucian
Garam
Pencucian
garam dapat dilakukan pada kondisi jenuh air dengan menggunakan curah hujan
atau dengan air segar dari sungai. Pengalaman menunjukkan bahwa pencucian
secara berselang pada interval 1 atau 2 minggu dapat diaplikasikan dengan
efektif. Cara ini lebih menguntungkan dibanding cara penggenangan disertai
pencucian, karena periode kering pada saat tidak dicuci dapat mengakibatkan
retakan pada lapisan tanah (terutama tanah liat). Pada saat terjadi retakan
tersebut akan terjadi pula pemindahan garam dari lapisan bawah ke bagian
retakan sehingga dengan mudah dapat dicuci pada tahap pencucian berikutnya
(Subagyono, 2005).
Untuk
mempercepat pencucian garam, salah satu cara adalah membangun sistem drainase.
Saluran drainase ini akan mempercepat aliran air dari lahan untuk dibuang
keluar melalui saluran kuarter dan tersier (Subagyono, 2005). Menurut Rachman
et al (2008). Saluran
drainase yang berfungsi baik dapat membuang garam-garam dari lahan pertanian,
sehingga memungkinkan ditanami kembali dengan kacang tanah dan tanaman palawija
lain. Selain itu, pembangunan kembali pematang-pematang sawah yang rusak
diterjang tsunami perlu segera dilaksanakan. Pematang tersebut sebaiknya lebih
tinggi dibandingkan dengan sebelum tsunami untuk menampung lebih banyak air hujan
berkadar garam rendah, sehingga dapat lebih efektif menurunkan kadar garam
tanah.
Pencucian
garam ke lapisan tanah lebih dalam sehingga menjauhi zona perakaran dapat
dilakukan terutama pada daerah yang permeabilitas tanahnya cukup baik, air
tanahnya dalam (>2 m), dan curah hujannya sedang sampai tinggi. Teknik
pencucian ini dapat efektif dilakukan selama musim penghujan, namun berisiko
meningkatkan kadar salinitas tanah di daerah perakaran selama musim kemarau
akibat tingginya penguapan dari pori-pori tanah. Untuk menghindari risiko
tersebut, pada lahan pertanian yang telah direklamasi perlu dilakukan tindakan rehabilitasi
(Rachman
et al., 2008).
3.2 Aplikasi
Gypsum (CaSO4)
Untuk
mengatasi masalah sodisitas (kadar Na tinggi) diperlukan bahan
amelioran seperti gypsum. Gypsum
menggantikan ion sodium
dalam tanah dengan kalsium, dan sebagai akibatnya secara
aktif membuang sodium dan meningkatkan perkolasi tanah. Pilihan ini dapat
diaplikasikan hanya ketika pH tanah lebih tinggi dari 8,5 (misalnya tanah
sodik) dan jika cara mekanis sederhana tidak efektif menghancurkan lapisan
padat liat/debu. Penggunaan gipsum (CaSO4) dapat mempercepat pencucian Na dan
mengurangi salinitas tanah. Bahan amelioran lain yang dapat digunakan disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Bahan
amelioran untuk reklamasi tanah alkalin (Mengandung Na)
Jenis
Amelioran
|
Bahan
Kimia
|
Garam
kalsium mudah larut
|
Calcium chloride
|
Gypsum
|
|
Garam asam
|
Sulfur
|
Sulfuric acid
|
|
Besi
sulfat
|
|
Aluminium
sulfat
|
|
Lime-sulfur
|
|
Garam kalsium
sulit larut
|
Batuan
kapur (ground limestone)
|
Produk
kapur dari pabrik gula
|
Sumber : Subagyono
(2005)
Kebutuhan
gypsum sangat tergantung pada kadar Na tertukar di dalam tanah. Penetapan
sodium tertukar dan kapasitas tukar kation (KTK) sangat membantu dalam estimasi
jumlah amelioran. Tanah dengan kedalaman 0-30 cm mengandung Na tertukar 4 cmol
(+) kg-1, KTK 10 cmol (+) kg-1, dengan demikian ESP sama dengan
40. Jika ESP ingin diturunkan menjadi
10, diperlukan untuk mengganti Na sebanyak 3 cmol (+) kg-1, sehingga
diperlukan bahan amelioran pada level 3 cmol (+) kg-1 tanah
(Subagyono, 2005).
3.3 Pemberian
Bahan Organik
Tindakan
rehabilitasi ditujukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
dapat dilakukan antara lain dengan pemberian bahan pembenah tanah seperti pupuk
kandang, pupuk organik, abu sekam, dan pemulsaan. Pemberian bahan pembenah
tanah yang tersedia di lokasi seperti pupuk kandang, sekam padi, dan pupuk
organik lainnya sebanyak 5-10 t ha-1 sangat penting dilakukan untuk
memperbaiki struktur tanah, keseimbangan hara, kemampuan menyimpan air (water
holding capacity) dan mengurangi penguapan jika bahan-bahan tersebut
disebar di permukaan tanah (Rachman et al., 2008).
Pemberian bahan
organik/amandemen bokashi jerami
atau pembenah tanah pada lahan salin dapat menurunkan pH
dan memperbaiki kesuburan tanah. Munawar (2011)
menyatakan, bahan organik berpengaruh terhadap sifat-sifat fisika tanah melalui
berbagai cara. Sisa-sisa tanaman yang masih asli dan berada di permukaan tanah
melindungi permukaan tanah dari proses pengerasan dan pergerakan akibat jatuhan
butir hujan, sehingga memacu infiltrasi dan mengurangi aliran permukaan.
Peningkatan bahan organik secara tidak langsung dapat meningkatkan porositas
tanah melalui peningkatan aktivitas fauna tanah. Bahan organik segar memacu
aktivitas makrofauna seperti cacing tanah yang menciptakan lubang-lubang dengan
bahan sekresi dari tubuhnya, kemudian terisi dengan bahan kascingnya. Jumlah
air infiltrasi ke dalam tanah tergantung pada masa penutupan tanah.
Bahan organik tanah merupakan salah
satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran
sebagai bahan perekat
antar partikel tanah
untuk bersatu menjadi agregat tanah,
sehingga bahan organik
penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian
bahan organik terhadap
struktur tanah sangat
berkaitan dengan tekstur tanah
yang diperlakukan (Atmojo, 2003). Bahan organik dapat
memperbaiki struktur tanah melalui sifat-sifat adhesif dari bahan organik,
seperti bahan sisa bakteri, gel organik, hifa jamur, dan sekresi cacing yang
mengikat partikel-partikel tanah bersama-sama membentuk agregat yang mantap
(Munawar, 2011).
Pemberian pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya
unsur hara, juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik
tanah yang dapat dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan agregat,
bobot volume, total ruang pori, plastisitas dan daya pegang air. Kartasapoetra
(2000) menyatakan, pupuk kandang mempunyai daya untuk mempertinggi kadar humus
dan memperbaiki struktur tanah, humus mempunyai peranan penting dalam
pembentukan tanah remah, karena humus mempunyai sifat kolloid hidrofil yang dapat
digumpalkan dan dijadikan gel kembali. Tanah remah-sedang cenderung tampak agak
bergumpalan (aggregasi) dan ada yang dalam keadaan bentuk porouse
berlubang-lubang bergeronggong yang memudahkan aliran air menerobos menyerab ke
dalam lapisan-lapisan tanah sebelah bawah.
Pupuk kandang bermanfaat atau mempunyai daya untuk :
Meningkatkan kesuburan tanah, mendorong kehidupan jasad renik dan sebagai
sumber unsur mikro yang dibutuhkan tanaman, sehingga keseimbangan unsur hara di
dalam tanah menjadi lebih baik. Pelapukan dan perombakan pupuk kandang akan
mengakibatkan persenyawaan nitrogen yang terdapat dalam bahan organik (misalnya
polipeptida dan asam amino menjadi ammonia, sulfat, fosfat, asam arang, dan
air). Dan dalam hal menghasilkan humus mempunyai peranan penting dalam mengikat
air, humus mempunyai sifat dapat mengikat air sampai empat atau enam kali
beratnya sendiri sehingga dapat mempertinggi daya untuk menahan air. Persediaan
ini penting untuk melarutkan unsur hara sehingga tersedia bagi tanaman untuk
pertumbuhannya, dengan terikatnya air oleh humus berarti dapat mengurangi air
perkolasi, sehingga pencucian unsur-unsur hara oleh air dapat direduksi. Selain
itu humus adalah kolloid yang bermuatan negatif, sehingga dapat mengadsorbsi
kation pada permukaan humus tersebut. Hal tersebut dapat mereduksi peristiwa
pencucian unsur hara di dalam tanah (Kartasapoetra, 2000). Tanah yang kaya
bahan organik mampu mengikat dan menyimpan unsur-unsur hara tanaman yang
bermuatan positif atau unsur logam, seperti Ca, Mg, dan K. Jika KTK meningkat,
tanah akan menggandeng lebih banyak hara dan membebaskannya untuk pertumbuhan
tanaman (Griffin, 2008 dalam Munawar, 2011).
Bahan organik merupakan sumber
energi bagi makro dan mikro-fauna tanah.
Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan
populasi mikrobiologi dalam
tanah meningkat, terutama yang
berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.
Beberapa mikroorganisme yang beperan
dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Di
samping mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan dalam dekomposi bahan
organik antara lain yang tergolong dalam protozoa, nematoda, Collembola, dan cacing
tanah. Fauna tanah ini berperan dalam
proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut
bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah. Mikro
flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan
organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan bahan organik
memberikan karbon sebagai sumber energi (Atmojo, 2003). Bahan organik
memperbaiki sifat biologi tanah dengan mengikat butir-butir partikel membentuk
agregat dari benang hyphae terutama
dari jamur micorhyza dan hasil eskresi tumbuhan dan hewan lainnya.
Keberadaan makrofauna di
dalam tanah mempercepat dekomposisi masukan bahan organik. Bahan organik segar
merupakan pakan bagi makrofauna. Melalui pencernaannya terjadi penguraian bahan
organik, dan sebagian hasil pengurainya dibebaskan kembali ke tanah dalam
bentuk kotoran yang dihasilkannya. Oleh karena itu kotoran makrofauna umumnya
berkandungan C organik dan unsur tersedia yang lebih tinggi dibandingkan tanah
disekitarnya. Namun demikian komposisi kimia kotoran makrofauna sangat beragam,
bergantung pada jenis makrofaunanya, jenis dan jumlah pakannya serta jenis
tanahnya (Ma’shum, 2003).
IV.
KESIMPULAN
1. Kerusakan lahan pertanian oleh
tsunami sebagian besar terjadi oleh beberapa faktor yaitu: Kegaraman
(salinitas) dan sodisitas (kadar Na tinggi), Endapan lumpur laut, Sampah dan
puing-puing bangunan, Rusaknya infrastruktur irigasi/drainase dan jalan.
2. Air
laut mengandung garam yang tinggi (>500 me l-1), terutama dalam
bentuk NaCl, kombinasi basa-basa kation (K, Ca, Mg), sulfat, bikarbonat dan
klorin (anion). Apabila air laut ini menggenangi lahan pertanian akan
menyebabkan meningkatnya salinitas tanah. Bencana Tsunami tidak hanya
menggenangi lahan pertanian dengan air laut, tetapi juga mengendapkan lumpur
berkadar garam tinggi. Garam pada lumpur ini dapat terinfiltrasi ke dalam tanah
dan berpotensi untuk meningkatkan salinitas tanah di daerah perakaran, merusak
struktur tanah, dan mencemari air tanah.
3. Pencucian garam dapat dilakukan pada kondisi
jenuh air dengan menggunakan curah hujan atau dengan air segar dari sungai.
Pengalaman menunjukkan bahwa pencucian secara berselang pada interval 1 atau 2
minggu dapat diaplikasikan dengan efektif. Cara ini lebih menguntungkan
dibanding cara penggenangan disertai pencucian.
4. Untuk
mengatasi masalah sodisitas (kadar Na tinggi) diperlukan bahan
amelioran seperti gypsum. Gypsum
menggantikan ion sodium
dalam tanah dengan kalsium, dan sebagai akibatnya secara
aktif membuang sodium dan meningkatkan perkolasi tanah.
5. Tindakan
rehabilitasi ditujukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
dapat dilakukan antara lain dengan pemberian bahan pembenah tanah seperti pupuk
kandang, pupuk organik, abu sekam, dan pemulsaan. Pemberian bahan pembenah
tanah yang tersedia di lokasi seperti pupuk kandang, sekam padi, dan pupuk
organik lainnya sebanyak 5-10 t ha-1 sangat penting dilakukan untuk
memperbaiki struktur tanah, keseimbangan hara, kemampuan menyimpan air (water holding capacity) dan mengurangi
penguapan jika bahan-bahan tersebut disebar di permukaan tanah.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad, A.
2006. Identifikasi Kerusakan Lahan dan Pendapat Masyarakat Terhadap Rencana
Rehabilitasi Lahan Pertanian Pasca Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Lho’nga
Kabupaten Aceh Besar ). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/
handle/123456789/7903/2006aac.pdf?sequence=2
(Diakses Tgl
6 Februari 2012).
Atmojo,
S. W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Cardon, G.
E., Davis, J. G., Bauder, T. A. and Waskom, R. M. 2003. Managing Saline Soil.
Colorado State University Cooperative Extension.
FAO. 2005.
Final Report for SPFS-Emergency Study on Rural Reconstruction Along the Eastern
Coast of NAD Province. Government of the Republic of Indonesia, Ministry of
Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Nippon
Koei Co. Ltd.
Franzen, D.
2003. Managing Saline Soils in North Dakota. North Dakota State University,
Fargo.
Kartasapoetra,
G., Kartasapoetra, A. G., Sutedjo, M. M. 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan
Ait. Rineka Cipta. Jakarta.
Lines and Kelly,
R. 2000. Soil sense: Soil management for NSW North Coast farmers. NSW
Agriculture & Land and Water Conservation, Wollongbar.
Ma’shum,
M., Soedarsono, J., Susilowati, L. E. 2003. Biologi Tanah. CPIU Pasca IAEUP,
Bagpro Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, Ditjen Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Munawar, A.
2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press. Bogor.
Rachman, A.,
Erfandi, D., Ali, M, N. 2008. Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah
Pertanian di NAD dan Strategi Rehabilitasinya. Peneliti pada Balai Penelitian
Tanah. Bogor. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/eng/dokumentasi/lainnya/jurnal_arachman28.pdf
(Diakses Tgl
6 Februari 2012).
Shofiyati, R. dan
Wahyunto. 2006. Inderaja untuk Identifikasi Kerusakan Lahan Akibat Tsunami dan Rehabilitasinya.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanin. Bogor. http://pustaka.
litbang.deptan.go.id/publikasi/wr28306k.pdf (Diakses Tgl 6 Februari
2012).
Subagyono,
K. 2005. Rehabilitasi Lahan Pasca Tsunami Di Nanggroe Aceh Darussalam. Balai
Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian. Bogor.http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/
leaflet/tsunami.pdf
(Diakses Tgl
6 Februari 2012).
Wiskandar,
2002. Pemanfaatan pupuk kandang untuk memperbaiki sifat fisik tanah di lahan
kritis yang telah diteras. Konggres Nasional VII.
1 komentar:
Did you know there is a 12 word sentence you can tell your crush... that will trigger deep emotions of love and impulsive attractiveness to you buried within his heart?
That's because deep inside these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's impulse to love, cherish and care for you with his entire heart...
12 Words Who Fuel A Man's Love Response
This impulse is so hardwired into a man's brain that it will drive him to work harder than before to to be the best lover he can be.
As a matter of fact, fueling this dominant impulse is absolutely essential to having the best possible relationship with your man that the second you send your man one of the "Secret Signals"...
...You'll instantly notice him open his heart and mind for you in a way he haven't experienced before and he'll perceive you as the one and only woman in the universe who has ever truly tempted him.
Posting Komentar